about

Allah tujuan kami, Rasul uswah kami, Alqur'an pedoman kami, tegaknya syariat Islam adalah cita cita kami
RSS

RELASI AGAMA DAN FILSAFAT MENURUT IBNU RUSYD



 

PENDAHULUAN

Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan filsafat.  Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana mempertemukan agama sebagai wahyu Tuhan dengan filsafat sebagai hasil ciptaan dan pikiran manusia.  Permasalahan ini muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan kebenaran filsafat yang berlandaskan pemikiran dan logika manusia.
            Alternatif jawaban atas pertanyaan tersebut tidak lebih dari tiga kemungkinan.  Pertama,  berpegang teguh kepada agama dan menolak filsafat.  Ini adalah pendapat orang beragama yang tidak berfilsafat.  Kedua,  sebaliknya, berpegang teguh kepada filsafat dan menolak agama, dan ini adalah pendapat orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah agama.  Ketiga,  mengupayakan pemaduan antara filsafat dengan agama menurut cara tertentu, dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof muslim ataupun para filosof yang memperhatikan kaidah-kaidah agama.[1] 
            Wacana tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu obyek kajian yang menjadi tuntutan lingkungan islam terutama menurut para filosof. Para filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran  yang tidak dapat diragukan.  Dan mereka menghormati nilai-nilai serta prinsip-prinsipnya.  Namun mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat.  Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran yang tak diragukan, dan oleh karenanya, mereka tidak ingin mengorbankan filsafat karena agama dan tidak ingin membunuh agama demi filsafat.  Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya memadukan agama dan filsafat serta menyingkirkan hal yang nampak bertentangan (paradoks) di antara keduanya.  Ini berarti bahwa ide sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan bagi mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat dengan tanpa mengurangi keteguhan mereka dalam memegang Islam serta meletakkan filsafat pada posisi yang sejajar dengan Islam.[2]

PERMASALAHAN
            Diskursus tentang sinkretisme, meskipun merupakan wacana yang sudah sering diungkap dalam berbagai kesempatan, namun tidak kehilangan relevansinya untuk diungkap kembali pada kesempatan ini.  Setidaknya terdapat beberapa pokok permasalahan seputar sinkretisme agama dan filsafat, antara lain :
a.  Faktor-faktor apakah yang melatar belakangi upaya para filosof Islam untuk mengajukan wacana sinkretisme antar agama dan filasafat ?
b.  Faktor-faktor apa saja yang mendorong Ibnu Rusyd untuk terlibat dalam upaya memadukan agama dengan filsafat ?
c.  Bagaimanakan pandangan-pandangan Ibnu Rusyd yang mendasar berkaitan dengan pemaduan antara agama dan filsafat tersebut ?
d.  Benarkah Ibnu Rusyd telah meninggikan filsafat ketimbang agama ? Ataukah sebaliknya ?

      Pembahasan pada bagian berikut berupaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut secara sistematis.



PEMBAHASAN

            Islam sebagai agama moderat senantiasa menganjurkan jalan pertengahan (tawasuth).  Karenanya, dapat diketahui bahwa semangat pemaduan dan pertengahan merupakan salah satu corak pemikiran kaum Muslimin dalam berbagai lapangan kehidupan.  Setiap kali ada aliran-aliran yang berlawanan, tentu akan timbul penengahnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah aliran dan pemikiran dalam Islam. Aliran Asy’ariyah dalam ilmu kalam dapat dikatakan merupakan aliran pertengahan dari golongan yang memegangi tekstual bunyi nash tanpa mengemukakan penafsiran rasional, dengan aliran Mu’tazilah yang mempertahankan kebebasan akal sepenuhnya dalam memahami nash dan penafsirannya.  Dalam lapangan hukum Islam, madzhab Syafi’i merupakan madzhab pertengahan yang terletak diantara Madzhab Maliki yang mendasari pendapatnya kepada Hadits sesudah Qur’an (ahlu al-Hadits), dengan madzhab Hanafi yang mendasari pendapat-pendapatnya kepada pikiran dan ijtihad (ahlu al-ra’yi).[3]  
            Di samping itu,  terdapat juga beberapa faktor lain yang mendorong pemaduan antara agama dengan filsafat, yaitu :
1.       Adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dengan filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri Nya, Qadimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan, keabadian jiwa, dan lain sebagainya.
2.       Adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan agamawan terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan akidah yang telah ditetapkan sebelumnya.  Sikap ini sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap para filosof.
3.       Hasrat para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu nampak pertentangannya dengan agama.[4]

Makalah ringkas ini berisi pandangan filsafat Ibnu Rusyd berkaitan dengan upaya pemaduan dan persesuaian antara agama dengan filsafat.

BIOGRAFI IBNU RUSYD

Kehidupan Ibnu Rusyd
            Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, kelahiran Kordoba pada tahun 520 H, berasal dari kalangan keluarga yang terkenal keutamaannya dalam lapangan hukum Islam dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalus. Ayahnya adalah seorang hakim, dan datuknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd Al-Jadd adalah Kepala Hakim di Kordoba.  Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi dalam studi-studi keislaman.  Al Qur’an beserta penafsirannya, Hadits Nabi, Ilmu Fiqh, Bahasa dan Sastra Arab dipelajarinya dari para alim di zamannya.  Dia mempelajari al-Muwattha’ langsung dari ayahnya dan menghapalnya.  Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika dan filsafat serta ilmu pengobatan[5].
            Karirnya dalam filsafat diraihnya melalui pergaulan dan belajarnya dari Ibnu Thufail yang membawanya dekat dengan Khalifah Abu Yusuf al-Mansur, yang kemudian memintanya untuk menuliskan ulasan-ulasan terhadap pemikiran-pemikiran Aristoteles.   Tugas ini dikerjakannya selam beberapa tahun dan menjadikannya Pengulas Ulung terhadap karya-karya Aristoteles. Untuk itu, dia memperoleh julukan Al-Syarih (The Commentator).
            Di akhir hayatnya, Ibnu Rusyd mengalami cobaan berat.  Para ahli fiqh yang bekerja di istana khalifah memfitnahnya sehingga khalifah marah dan membuangnya ke Alesana (Lucenna), sebuah kota dekat Kordoba.  Setelah bebas dari pembuangan, ia pindah ke Maroko  dan wafat tahun 595 H.[6]

Karya-karya Ibnu Rusyd

            Kegemarannya terhadap ilmu sulit dicari bandingannya.  Hal ini terlihat jelas dari karya-karyanya yang meliputi berbagai cabang ilmu, seperti : fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat.  Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar tulisan telah ditulisnya.  Buku-bukunya  adakalanya berupa karangan sendiri, ulasan ataupun ringkasan.  Kekaguman dan penghormatannya kepada Aristoteles membuatnya memberikan perhatian besar untuk memberikan Ulasan dan ringkasan bagi pemikiran dan karya-karya Aristoteles.  Di samping itu, turut diulasnya pula karya-karya Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Bajah.
            Karya-karyanya yang terpenting dan sampai kepada kita antara lain :
  1. Bidayah al-Mujtahid; sebuah buku bernilai tinggi berisi perbandingan madzhab dalam fiqh
  2. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal;  Buku inidimaksudkannya untuk memnunjukkan adanya kesesuaian antara agama dengan filsafat.
  3. Manahij al-Adillah  ;  berisi pandangan-pandangannya tentang persoalan dan aliran dalam ilmu kalam beserta kelemahan masing aliran tersebut.
  4. Tahafut al-Tahafut;  suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat, dimaksudkan untuk melakukan pembelaan terhadap filsafat dari serangan hebat al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. 

 

Mengapa Ibnu Rusyd Memperhatikan Sinkretisme Agama dan Filsafat ?

            Secara faktual, Ibnu Rusyd bukanlah orang pertama yang berupaya memadukan agama dan filsafat, atau antara hikmah dan syari’at,  ataupun antara akal dan wahyu.  Para filosof muslim sejak masa Al-Kindi telah mencoba menawarkan berbagai pola dan bentuk pendekatan yang beragam dalam hal sinkretisme antara agama dan filsafat.  Bahkan, di kalangan filosof Timur (Andalus) pun telah didahului oleh Ibnu Masarrah[7] dan Ibnu Thufail[8].  Namun demikian, seperti akan diuraikan dalam bagian berikutnya, Ibnu Rusyd menwarkan suatu penyelesaian dengan cara atau format yang sama sekali baru dan orisinil.
            Terdapat beberapa latar belakang kondisional dan faktor yang mendorong Ibnu Rusyd untuk menyelami masalah ini dan menyelesaikannya secara khusus, yaitu antara lain :[9]
1.      Ada beberapa ulama yang membeberkan hikmah seluruhnya kepada masyarakat sekaligus pendapat para ahli hikmah (filosof) menurut pemahamannya sendiri, sehingga menimbulkan kesalahan persepsi mengenai hubungan syari’at dengan hikmah.
2.      Latar belakang kondisi sosio kultural masyarakat Islam terutama di wilayah Andalusia, dimana pengikut madzhab Maliki yang mendominasi wilayah tersebut tidak begitu respek terhadap filsafat, bahkan cenderung memusuhi.
3.      Konflik dan sengketa yang berkepanjangan antara sekte-sekte Islam yang ada, yang masing-masingnya mengaku tetap berpegang teguh pada keaslian syari’at.
4.      Ekstrimitas Ibnu Rusyd dalam mengagumi Aristoteles.  Ibnu Rusyd ingin menjelaskan bahwa kekagumannya pada Aristoteles dan penyanjungannya pada pemikiran dan filsafat Aristoteles tidaklah mengeluarkannya dari agama.


PANDANGAN IBNU RUSYD TENTANG AGAMA DAN FILSAFAT

            Ibnu Rusyd turut terlibat dalam diskursus pemaduan antara agama dengan filsafat, bahkan melebihi para filosof sebelumnya, karena ia telah mampu memberikan uraian yang cukup panjang dan mendalam. Dalam tujuan ini, Ibnu Rusyd menulis kitab Fashl al-Maqaal dan Manahij al-Adillah, serta Tahafut al-Tahafut.[10]     Dengan segenap ketekunan, Ibnu Rusyd harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat, karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat , terutama dari Al-Ghazali.  Karenanya, Ibnu Rusyd harus melakukan pembelaan terhadap filsafat dan menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-perumusannya.
            Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut, Ibnu Rusyd menguraikan empat persoalan.  Pertama, keharusan berfilsafat menurut Syara’.  Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil.  Ketiga, Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil.  Keempat,  Pertalian akal dengan wahyu.[11]

 

Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’

Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antar agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari filsafat Islam.  Cara yang digunakan oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.[12]
Dalam Fashl al-Maqaal, Ibnu Rusyd mengawali pembahasaannya dengan keharusan berfilsafat menurut Syara’.  Menurut Ibnu Rusyd, filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya.  Qur’an berkali-kali memerintahkan hal yang demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2 yang mengandung perintah i’tibar dan nazhar.  Kedua ayat tersebut secara tegas memerintahkan untuk mengambil qiyas aqli atau qiyas aqli dan qiyas syar’i bersama-sama.  I’tibar dan nazhar yang dimaksudkan dalam kedua ayat tersebut tidak lain adalah pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu yang telah diketahui (ma’lum).  Ini berarti, penyelidikan alam wujud tidak bisa tidak, mesti menggunakan qiyas aqli.  Karena itu, penyelidikan yang bersifat filosofi menjadi suatu kewajiban. [13] 
Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat dipahami secara logika, dengan mengikuti premis–premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy sebagai berikut :[14]
Premis minor :
Penyelidikan filsafat secara nazhari aqli di alam ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada pembuatnya, yaitu Allah.
Premis mayor :
Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia untuk memperhatikan dan memikirkan penciptaan di alam ini agar manusia mengenal Tuhannya (Allah)
Konklusi :
Pengkajian filsafat dalam kerangka diatas adalah kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode burhan (demontrasi)

Kalau seorang faqih berdasarkan ayat tersebut menetapkan adanya qiyas syar’i, maka berdasarkan ayat tersebut pula seorang filosof lebih berhak lagi untuk menetapkan adanya qiyas aqli.  Bila dikatakan qiyas aqli adalah sebuah bid’ah, maka demikian pula halnya dengan qiyas syar’i, karena keduanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam. Kalau pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara’ maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika dan filsafat.  Untuk itu, karena filsafat telah berkembang sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof terdahulu tersebut adalah suatu keniscayaan.   Tidaklah mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian membangun filsafat yang baru sama sekali dengan meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat yang telah berkembang sebelumnya.[15]

Keharusan Ta’wil

            Para filosof Islam bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran.  Akan tetapi, dalam Qur’an dan Hadits, terdapat banyak nash yang secara lahir bertentangan dengan filsafat.  Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash tersebut dapat dita’wilkan sepanjang memenuhi aturan-aturan ta’wil dalam bahasa Arab, seperti halnya lafazh-lafazh dari Syara’ dapat pula dita’wilkan dari segi aturan fiqh.  Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang datang dari Syara’ diartikan menurut lahirnya, tidak pula harus dikeluarkan semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna batinnya.  Penafsiran (pena’wilan) semacam inilah dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan para filosof.
            Dengan demikian, ada arti lahir dan arti batin.  Bila arti lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus diambil dan kalau berlawanan maka harus dicari pena’wilannya.  Arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu kata dari arti yang sebenarnya kepada arti yang majazi (allegorik).[16] 
            Rangkapnya arti tersebut, dikarenakan perbedaan pandangan orang dan kemampuannya untuk mempercayai.  Manusia dalam hal ini terdiri dari tiga golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu golongan pemakai qiyas burhani, qiyas jadali, dan qiyas khithabi.[17]
            Qiyas burhani adalah qiyas yang terdiri dari dasar-dasar pikiran (premis) yang yakin dan berpijak pada hukum-hukum aksioma.  Karena itu, qiyas tersebut memiliki konklusi yang meyakinkan, dan itulah qiyas yang sebenar-benarnya dan lazim dipakai dalam dunia pemikiran filsafat.
            Qiyas jadali terdiri dari dasar-dasar pikiran yang masih berada dalam daerah kemungkinan, yang diterima oleh semua orang atau sebagian besarnya atau diterima oleh semua filosof, dan kesimpulannya juga masih berada pada daerah kemungkinan pula.  Qiyas jadali ini tidak bisa menggantikan qiyas burhani dan hanya bisa dipakai dalam arena perdebatan dan yang sejenisnya.
            Qiyas khithabi adalah qiyas yang didasarkan atas pikiran-pikiran dasar yang lemah dan hanya sesuai untuk pilihan si pendengar dan keadaan jiwanya. Qiyas ini bersifat sentimentil, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau memberi kepuasan jiwa, bukan untuk memberikan pengertian yang benar.[18]
            Golongan para pemakai qiyas burhani adalah para filosof yang mempunyai dalil-dalil yang kuat.  Sedangkan golongan pemakai qiyas jadali adalah para teolog Islam (mutakallimin) yang hanya sampai ke tepi keyakinan tetapi tidak sampai mengarunginya.  Adapun qiyas khithabi adalah manusia pada umumnya yang kurang memiliki kecerdasan otak, dan fitrahnya masih kurang sempurna, sehingga tidak mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.[19]

Aturan-aturan Ta’wil

            Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan ta’wil, yaitu :
1.            Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip Syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi bahwa Syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung olehnya.
2.            Yang berhak mengadakan ta’wil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof tertentu saja, yaitu mereka yang mendalam ilmunya.  Ta’wil ini tidak boleh dilakukan oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam Islam.
3.            Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada orang awam karena orang awam hanya mengetahui arti lahirnya nash.
4.            Kaum Muslimin bersepakat bahwa dalam Syara’ ada tiga bagian, yaitu : Bagian yang harus diartikan menurut lahirnya; bagian yang harus dita’wilkan; dan bagian yang masih diperselisihkan.
Dalam hal pena’wilan terhadap sesuatu yang sudah disepakati untuk diartikan menurut lahirnya ataupun pengartian menurut lahirnya dari sesuatu yang semestinya dita’wilkan, diperlukan ijma’ kaum muslimin.
      Dalam kaitan ini, menurut Ibnu Rusyd, para ulama membagi ijma’ menjadi dua, yaitu ijma’ dalam amalan lahir dan ijma’ dalam amalan penyelidikan akal.  Mereka menetapkan bahwa ijma’ dalam soal-soal akidah tidak mungkin terjadi dengan jalan yang yakin, sebagaiman yang mungkin terjadi dalam soal-soal amalan. Dalam soal-soal amalan, ijma’ bisa terjadi apabila sesuatu amalan tersebut luas, kemudian tidak terdengar ada pendapat yang menyalahinya.  Ketidak mungkinan ijma’ seperti ini pula yang, sebagaimana diakui pula oleh Al-Ghazali sendiri.  Karena itu, sangatlah berlebihan dalam hal yang tidak mungkin terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para filosof disalahkan , bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.

Kedudukan Wahyu dan Pertaliannya dengan Akal

              Ibnu Rusyd, meskipun ia memuja kekuatan akal dan mempercayai kesanggupannya, untuk mengetahui, namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat diketahuinya.  Karena itu, dalam hal ini harus dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang untuk menyempurnakan akal.  Dalam bukunya, Tahafut al-Tahafut ia menyatakan, “Segala sesuatu yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wahyu”.  Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam permasalahan : bagaimana mengetahui Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat, dan mengetahui  jalan untuk mencapai kebahagiaan dan menjauhkan kesengsaraan tersebut.
            Persoalan-persoalan tersebut, seluruhnya atau sebagian besarnya, tidak akan bisa dijelaskan secara sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan dengan wahyu maka lebih utama.  Hal ini dapat dimengerti, karena filsafat bertujuan mengamalkan tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari mereka, yaitu mereka yang mempunyai kesanggupan untuk mempelajarinya.  Atau dengan kata lain, ditujukan kepada orang yang pandai saja.  Sedangkan Syara’ bermaksud memberikan tuntunan atau pelajaran kepada orang banyak secara umum. Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi semua orang.
            Jadi, wahyu dianggap oleh Ibnu Rusyd sebagai suatu keharusan untuk semua orang, dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada di bawah kekuatan wahyu. Inilah yang terungkap dari dalam kedua bukunya Manahij al-Adilah dan Tahafut al-Tahafut.   Sikap ini pula yang kemudian mengundang banyak pertanyaan dan kontroversi, apakah Ibnu Rusyd seorang rasionalis tulen atau bukan.[20]




PENUTUP

Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa upaya sinkretisme agama dan filsafat merupakan keniscayaan sejarah,  kondisi dimana para filosofnya berupaya menjaga eksistensi filsafat dari serangan para tokoh-tokoh Islam yang menentangnya.  Alternatif terbaik yang dapat diambil oleh para filosof muslim adalah berupaya melakukan sinkronisasi antara agama dan filsafat.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd, yang secara mendasar dan dengan pendekatan yang sama sekali baru dibanding para filosof pendahulunya,  berupaya melakukan pembelaan atas filsafat dengan menempatkannya pada posisi yang tidak diametral dengan agama, bahkan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam upaya memahami agama secara baik.
Dalam Ibnu Rusyd sinkretisme agama dan filsafat didasari pada empat prinsip dasar.  Pertama, keharusan berfilsafat menurut Syara’.  Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil.  Ketiga, Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil.  Keempat,  Pertalian akal dengan wahyu.
Dengan keempat prinsip tersebut, yang dijabarkan secara sistematis dalam karya-karya utamanya, Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian dari keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan.  Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian Ibnu Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis tulen yang menafikan wahyu.

DAFTAR BACAAN

Abdul Maqsud,  Abdul Maqsud Abdul Ghani .  Al-Taufiq bayn al-Din wa al-Falsafah ‘inda Falasifah al-Islam fi al-Andalus  (Agama dan Filsafat)  terj. Saifullah & Ahmad Faruq.  Pustaka Pelajar.  Yogyakarta.  2000  
Al-Ahwani, Ahmad Fuad.  Filsafat Islam.  terj.  Tim Pustaka Firdaus.  Pustaka Firdaus.  Jakarta.  1997
Al-‘Iraqiy,  Muhammad ‘Athif.  Al-Manhaj al-Naqdiy  fi Falsafah Ibn Rusyd.  Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1980
Al-‘Iraqiy,  Muhammad ‘Athif.  Al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd.  Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1979
Hanafi, Ahmad.  Pengantar Filsafat Islam.  Bulan Bintang.  Jakarta.  1996
Ibn Rusyd.  Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal.  Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1980
Madkour, Ibrahim.  Aliran dan Teori Filsafat Islam.  Terj. Yudian W. Asmin.  Bumi Aksara. Jakarta.  1995
Musa,  Muhammad Yusuf.  Bayn al-Din wa al-Falsafah : fi Ra`yi Ibn Rusyd wa falasifah al-‘ashr al-wasith. Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1968
‘Uwaidhah, Kamil Muhammad Muhammad.  Ibn Rusyd al-Andalusiy : Failasuf al-‘Arab wa al-Muslimin.  Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.  Beirut.  1993
Sharif, M.M, The Philosophers, dalam History of Moslem Philosophy.  Terj.  Ilyas Hasan.  Mizan. Bandung.  1998  


[1] Musa,  Muhammad Yusuf.  Bayn al-Din wa al-Falsafah : fi Ra`yi Ibn Rusyd wa falasifah al-‘ashr al-wasith. Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1968  hal. 45-46
[2] Abdul Maqsud,  Abdul Maqsud Abdul Ghani .  Al-Taufiq bayn al-Din wa al-Falsafah ‘inda Falasifah al-Islam fi al-Andalus  (Agama dan Filsafat)  terj. Saifullah & Ahmad Faruq.  Pustaka Pelajar.  Yogyakarta.  2000   hal. 5
[3] Musa, op.cit. hal.  46-47
[4] ibid. 47-48
[5] Sharif, M.M, The Philosophers, dalam History of Moslem Philosophy.  Terj.  Ilyas Hasan.  Mizan. Bandung.  1998  hal.  197 - 199   Riwayat hidup lebih lengkap dapat dilihat pada ‘Uwaidhah,.  Ibnu Rusyd al-Andalusiy,  Dar al-Kutub al-‘ilmiyah.  Beirut.  1993  hal.  19 - 41
[6] Al Ahwani.  Filsafat Islam.  Pustaka Firdaus.  Jakarta.  1997  hal. 113
[7] Ibnu Masarrah al-Qurthubi (w. 319 H), dikenal dengan nama Aben Masarra,  menulis risalah Al-I’tibar, berupa risalah ringkas berisi penjelasan bagaimana suatu pemikiran yang bebas dan bersih (obyektif) dapat mencapai hakekat-hakekat yang dibawa oleh agama dan kebenaran, yaitu pembuktian adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, dan penjelasan tujuan hidup dalam format yang mudah dipahami bagi orang awam.  Pembahasan tentang risalah ini dapat dilihat pada Abdul Maqsud, op.cit.  hal. 14-38
[8] Ibnu Thufail (w. 581 H), dikenal dengan nama Abubacer, menulis risalah dalam bentuk roman  dengan gaya bahasa simbolik,  Hayy bin Yaqzhan,  yang bertujuan menjelaskan kemampuan akal untuk mencapai kesempurnaan dan menggapai esensi-esensi kebenaran yang diserukan oleh agama.  Kisah ini menonjolkan adanya dua metode ilmu pengetahuan (epistemologi), yaitu metode penalaran (Thariq al-Nazhar) dan metode illuminasi-inisiatik (Thariq al-Kasyf wa al-Ilham) yang ditempuh oleh sang tokoh (Hayy) sekaligus.  Pembahasan tentang metode Ibnu Thufail ini dapat dilihat pada Abdul Maqsud. op.cit,  hal. 39 – 63.
[9] Abdul Maqsud, op.cit,   hal. 69 - 75
[10] Al-‘Iraqiy,  Muhammad ‘Athif.  Al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd.  Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1979  hal.  270
[11] Secara lengkap tentang keempat topik bahasan tersebut dapat dilihat pada Musa, op.cit. hal. 91 –110
[12] Sharif,  op.cit.  203
[13] Ibn Rusyd.  Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal.  Dar al-Ma’arif.  Kairo.  1980  hal. 1 – 3.  Lihat juga Musa, op.cit hal. 91  dan al-‘Iraqiy ,  al-Naz’ah   hal  271-272
[14] Al-‘Iraqy, al-Naz’ah  ,  hal. 272
[15] Ibn Rusyd  op.cit.  hal. 4 - 12
[16] ibid.  hal. 20
[17] ibid. hal 16
[18] Ibnu Rusyd, op.cit.  hal. 56 - 60
[19]ibid. hal.  61-63
[20] Al-‘Iraqiy,  al-Naz’ah,  hal. 289

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar