Saat ini ramai diberitakan bahwa Capres
“X” atau Cawapres “Y” adalah Neoliberalis atau Antek Asing sementara
pihak yang tertuduh atau simpatisannya membelanya. Istilah
“Neoliberalis” jadi populer sekarang.
Tapi masih banyak orang yang tidak tahu
“Apa sih Neoliberalis itu?” Oleh karena itu saya akan mencoba
menjelaskannya sesederhana mungkin sehingga orang awam bisa memahaminya.
Neoliberalisme
adalah paham Ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis Perdagangan
Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN,
Deregulasi/Penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran
negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Neoliberalisme dikembangkan tahun 1980 oleh
IMF, Bank Dunia, dan Pemerintah AS (Washington Consensus). Bertujuan
untuk menjadikan negara berkembang sebagai sapi perahan AS dan
sekutunya/MNC.
Sistem Ekonomi Neoliberalisme
menghilangkan peran negara sama sekali kecuali sebagai “regulator” atau
pemberi “stimulus” (baca: uang negara) untuk menolong perusahaan swasta
yang bangkrut. Sebagai contoh, pemerintah AS harus mengeluarkan
“stimulus” sebesar US$ 800 milyar (Rp 9.600 trilyun) sementara Indonesia
pada krisis monter 1998 mengeluarkan dana KLBI sebesar Rp 144 trilyun
dan BLBI senilai Rp 600 trilyun. Melebihi APBN saat itu. Sistem ini
berlawanan 100% dengan Sistem Komunis di mana negara justru menguasai
nyaris 100% usaha yang ada.
Di tengah-tengahnya ada Ekonomi
Kerakyatan seperti tercantum di UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa
kebutuhan rakyat seperti Sembako, Energi, dan Air harus dikuasai negara.
Begitu pula kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Untuk itu dibuat berbagai BUMN seperti Pertamina,
PAM, PLN, dan sebagainya sehingga rakyat bisa menikmatinya dengan harga
yang terjangkau.
Selain itu ada juga Sistem Ekonomi Islam
yang hampir mirip dengan Ekonomi Rakyat di mana padang (tanah luas), api
(energi), dan air adalah “milik bersama.” Nabi Muhammad juga
memerintahkan sahabat untuk membeli sumur air milik Yahudi sehingga air
yang sebelumnya jadi komoditas untuk mendapat keuntungan dibagikan
gratis guna memenuhi kebutuhan rakyat.
Neoliberalisme disebut juga dengan Globalisasi (Globalization). Neoliberalis adalah orang yang menganut paham Neoliberalisme.
Lembaga Utama yang menjalankan
Neoliberalisme adalah IMF, World Bank, dan WTO. Di bawahnya ada lembaga
lain seperti ADB. Dengan belenggu hutang (misalnya hutang Indonesia yang
meningkat dari Rp 1.200 trilyun 20 tahun 2004 dan bengkak jadi Rp 1.600
trilyun di 2009) lembaga tersebut memaksakan program Neoliberalisme ke
seluruh dunia. Pemerintah AS (USAID) bertindak sebagai Project Manager
yang kerap campur tangan terhadap pembuatan UU di berbagai negara untuk
memungkinkan neoliberalisme berjalan (misalnya di negeri kita UU Migas).
Mari kita bahas satu per satu agenda utama Neoliberalisme.
Privatisasi/Penjualan BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Neoliberalis menghendaki negara tidak
berbisnis meski bisnis tersebut menyangkut kekayaan alam negara dan juga
menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Oleh karena itu semua BUMN
harus dijual atau diprivatisasi ke pihak swasta. Karena swasta Nasional
keuangannya terbatas, umumnya yang membelinya adalah pihak asing seperti
Indosat dan Telkom yang dijual ke perusahaan asing seperti STT dan
Singtel yang ternyata anak perusahaan dari Temasek (BUMN Singapura).
PAM (Perusahaan Air Minum) yang dibeli
pihak asing sehingga jadi Palyja (Lyonnaise, Perancis) dan TPJ (Thames
PAM Jaya yang kemudian dibeli oleh AETRA). Privatisasi ini akhirnya
menyebabkan tarif PAM naik berkali-kali hingga sekarang 1 m3 jadi
sekitar Rp 7.000.
Yang berbahaya adalah ketika perusahaan
swasta/asing itu bergerak di bidang pertambangan seperti minyak, gas,
emas, perak, tembaga, dan sebagainya, sehingga kekayaan alam Indonesia
bukannya dinikmati oleh rakyat Indonesia justru masuk ke kantong asing.
Inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Menurut PENA, Rp 2.000
trilyun setiap tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia masuk ke tangan
asing. Padahal APBN kita saat itu hanya sekitar Rp 1.000 trilyun
sementara hutang luar negeri Rp 1.600 trilyun.
Sebagai contoh, Freeport yang menguasai
lahan tambang di Papua di mana satu gunung Grassberg saja punya deposit
emas sebanyak US$ 50 milyar (Rp 500 trilyun), ternyata hanya memberi
royalti ke Indonesia 1% saja! Jadi kalau Freeport dapat Rp 495 trilyun,
Indonesia cuma dapat Rp 5 trilyun. Bagaimana Indonesia bisa kaya?
Jika Privatisasi khususnya yang
menyangkut kekayaan alam bisa dihentikan, maka hutang luar negeri bisa
dilunasi dalam waktu kurang dari setahun. Para pejabat dan pegawai
negeri bisa hidup senang dengan anggaran Rp 1000 trilyun/tahun dan
rakyat bisa makmur dengan rp 2.000 trilyun/tahun yang saat ini justru
dinikmati asing.
Prinsip Neoliberalisme di atas jelas
bertentangan dengan UUD 45 (yang saat ini diamandemen) dan juga ajaran
Islam. Meski Pancasila dan Islam tidak menganut paham komunisme di mana
semua diatur negara, tapi untuk hal-hal yang penting dan menguasai
kebutuhan orang banyak serta kekayaan alam itu adalah milik bersama.
Bukan segelintir pemilik perusahaan/asing.
Kaum muslimin berserikat (memiliki
bersama) dalam tiga hal, yaitu air, rerumputan (di padang rumput yang
tidak bertuan), dan api (migas/energi). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat UUD 45 Pasal 33 ayat 3
Lihat privatisasi BUMN yang telah terjadi:
Yang parah adalah Bank Indonesia (BI)
yang merupakan Bank Sentral Indonesia yang memiliki otoritas membuat
uang diswastanisasi dan akhirnya dikontrol oleh IMF lewat LOI IMF yang
terpaksa ditanda-tangani Soeharto. Pemerintah yang telah dipilih secara
resmi oleh rakyat tidak berdaulat lagi atas BI. Sebagai gantinya justru
Dinasti Rothschild via IMF yang menguasai BI.
Sebagai contoh harga Premium yang tahun
2004 masih Rp 1.800/liter naik hingga Rp 6.000/liter. Sementara harga
Pertamax betul-betul mengikuti harga minyak dunia sehingga harganya sama
dengan di AS. Padahal jika garis kemiskinan di Indonesia hanya Rp 182
ribu/bulan, di AS sekitar Rp 10,4 juta/bulan. Di AS, seorang pengantar
Pizza bisa mendapat Rp 14 juta/bulan belum termasuk tip. Sementara di
Indonesia, seorang manager belum tentu dapat gaji rp 2 juta/bulan.
Jadi kebijakan kaum Neoliberalis yang
memaksakan harga barang mengikuti harga pasar/dunia betul-betul
menyengsarakan rakyat Indonesia.
Barang | Harga 2005 | Harga 2008 | Kenaikan |
Premium | 1.810 | 6.000 | 231% |
Beras | 3.000 | 6.000 | 100% |
Angkutan Umum | 1.000 | 2.500 | 150% |
Minyak Goreng | 4.500 | 13.000 | 189% |
UMR | 635.000 | 972.000 | 53% |
Sebagai kompensasi atas berbagai kenaikan
harga barang, kaum Neoliberalis memberikan bantuan langsung kepada
rakyat seperti BLT sebesar Rp 100 ribu/bulan. Namun sayang, tidak semua
rakyat kebagian. Banyak buruh/pekerja yang upahnya di bawah UMR tidak
menerima BLT. Garis Kemiskinan yang begitu rendah jauh di bawah standar
Bank Dunia yang US$ 2/orang/hari (Rp 660 ribu/bulan) mengakibatkan
banyak orang miskin tidak dapat BLT. Penerima BLT kurang dari 40 juta
orang. Padahal orang miskin di Indonesia dengan standar Bank dunia
diperkirakan sekitar 120 juta jiwa. Ada 80 juta rakyat miskin yang tak
menerima BLT sehingga kerap ada orang yang menurut garis kemiskinan BPS
“kaya” berebut BLT karena sebetulnya menurut garis kemiskinan Bank Dunia
masih miskin.
Ajaran Neoliberalisme yang membisniskan
semua barang termasuk air bertentangan dengan ajaran Islam. Jika anda
tak punya uang, anda kesulitan menikmati air bersih.
Pernah di zaman Nabi ada orang Yahudi
yang memiliki sumur air dan menjualnya kepada masyarakat. Nabi Muhammad
meminta sahabat untuk membeli sumur tersebut dan memberikannya gratis
kepada seluruh rakyat.
Itulah ajaran Islam di mana air yang
merupakan kebutuhan pokok semua makhluk hidup harusnya bisa didapatkan
oleh semua makhluk hidup. Bukan hanya oleh orang yang bisa membeli saja.
Penghapusan Layanan Publik
Pelayanan Publik oleh negara seperti
pendidikan, kesehatan, transportasi dihapuskan. Diserahkan ke pihak
swasta atau harganya meningkat sesuai harga “Pasar”.
Meski pendidikan dasar SD-SMP gratis
(mungkin agar rakyat Indonesia bisa lulus SMP sehingga kalau jadi office
boy atau kuli tidak bodoh-bodoh amat), namun untuk SMA dan Perguruan
Tinggi Negeri biayanya sangat mahal. Uang masuk SMA Negeri sekitar rp
4-7 juta sementara SPP berkisar Rp 175 ribu-400 ribu/bulan. Melebihi
biaya di perguruan tinggi swasta seperti BSI yang kurang dari rp 200
ribu/bulan. Untuk masuk PTN apalagi Fakultas Kedokteran bisa mencapai Rp
75-200 juta.
Kesehatan juga begitu. Banyak Rumah Sakit
Pemerintah yang diprivatisasi. Operasi sederhana seperti operasi usus
buntu mencapai rp 10 juta lebih. Padahal teman saya yang operasi gajinya
tak jauh dari UMR.
Layanan Kesehatan gratis baru bisa didapat jika anda memenuhi kriteria miskin dan punya kartu Keluarga Miskin (GAKIN).
Pembangunan Bertumpu dengan Investor Asing dan Hutang Luar Negeri
Menurut kaum Neoliberalis, tidak mungkin
pembangunan dilakukan tanpa hutang. Padahal Arab Saudi yang
menasionalisasi perusahaan minyak ARAMCO pada tahun 1974 berhasil
meningkatkan pendapatan secara signifikan dan memakmurkan rakyatnya
tanpa perlu berhutang.
Hutang dari Lembaga Neoliberalisme
seperti IMF, World Bank, ADB, dan sebagainya justru jadi belenggu yang
memaksa Indonesia menjual BUMN dan kekayaan alamnya.
Saat ini Rp 2.000 trilyun/tahun hasil
kekayaan alam Indonesia tidak dapat dinikmati rakyat sehingga mayoritas
rakyat Indonesia hidup melarat. Tapi justru oleh perusahaan asing yang
merupakan kroni dari IMF dan World Bank.
Jika Indonesia mandiri, maka hutang luar negeri yang cuma Rp 1.600 trilyun itu bisa lunas dalam waktu kurang dari setahun.
Jika Rp 2.000 trilyun/tahun hasil kekayaan alam Indonesia bisa dipakai untuk pembangunan, maka kita tidak perlu lagi berhutang.
Kaum Neoliberalis itu seperti makelar
hutang yang mendapat komisi dan berbagai keuntungan lainnya dari hasil
hutang berupa bunga dan juga penjualan BUMN dan kekayaan alam Indonesia.
Spekulasi Pasar Uang, Pasar Modal, dan Pasar Komoditas
Dari Rp 1.982 Trilyun perdagangan saham
di BEI, hanya Rp 44,37 Trilyun masuk ke Sektor Riel (2,24%). Sementara
97% lebih tersedot untuk Spekulasi Saham.
Perdagangan valuta asing (valas) di
Indonesia sekitar Rp 7.000 trilyun/tahun dan terus meningkat. Uang jadi
lebih sebagai alat spekulasi ketimbang sebagai alat tukar.
Inilah contoh keserakahan Kartel dan
spekulan Pasar Minyak yang mempermainkan harga di Pasar Komoditas dan
tak terkontrol. Harga minyak dari US$ 20/brl (2002) jadi US$ 144/brl
(2008). Naik 7x lipat dalam 6 tahun!
Menurut ensiklopedi MS Encarta, dari
tahun 1950-2001 volume ekspor dunia meningkat 20 kali lipat. Sementara
perdagangan uang dari tahun 1970-2001 naik 150 x lipat dari US$ 10-20
milyar per hari jadi US$ 1,5 trilyun/hari (Rp 16.500 trilyun/hari)!
Spekulasi uang asing seperti Rupiah-Dollar-Yen-Euro, dsb lebih besar
ketimbang sebagai alat tukar untuk pembelian barang.
Itulah sistem Neoliberalisme yang lebih
mementingkan uang tersedot ke Spekulasi uang, saham, dan komoditas
(meski barang, tapi dipermainkan hingga jatuh tempo selama 6 tahun) di
Pasar Uang, Pasar Saham, dan Pasar Komoditas.
Penjajahan “Kompeni” Gaya Baru
Dulu yang menjajah kita adalah Kompeni
Belanda. Artinya Perusahaan (VOC-Verenigde Oost Indische Compagnie)
Belanda. Bukan Pemerintah Belanda. VOC ini mendirikan berbagai
perkebunan terutama rempah-rempah dan memonopolinya untuk dijual ke
Eropa.
Karena jumlahnya sedikit (total penduduk
Belanda waktu itu hanya 7 juta dan tentara Belanda di Indonesia kurang
dari 10.000), maka Kompeni Belanda tetap bekerjasama dengan Raja-raja
dan Bupati-bupati lokal. Raja-raja yang tidak mau bekerjasama diperangi
bersama sekutunya. Bangsa Indonesia bekerja sebagai kuli kontrak.
Nah saat ini yang menguasai kekayaan alam
kita adalah Kompeni gaya baru, yaitu Multi National Company (MNC) yang
didukung oleh pemerintah AS dan sekutunya. Sejarah kembali berulang.
Raja-raja dan Bupati-bupati baru tetap orang Indonesia, demikian pula
Kuli Kontraknya. Bahkan para pengkhianat/komprador yang bekerjasama
dengan para penjajah pun tetap ada.
Bahkan jika dulu Kompeni Belanda umumnya
masih mengutamakan Perkebunan yang masih ramah lingkungan, Kompeni baru
sekarang menguras hasil tambang Indonesia seperti minyak, gas, emas,
perak, batubara, tembaga, dan sebagainya. Gunung-gunung di Papua menjadi
rata dan tercemar zat kimia, begitu pula di daerah-daerah pertambangan
lainnya. Sungai-sungai dan danau juga tercemar sehingga rakyat setempat
tidak bisa lagi mendapat makanan berupa ikan dari situ.
Jadi situasi penjajahan Kompeni gaya baru
ini justru lebih buruk dan ironisnya tidak disadari oleh mayoritas
rakyat Indonesia! Ini karena penjajah gaya baru ini membina begitu
banyak kaki tangan mulai dari LSM-LSM, Kampus-kampus, hingga media massa
yang mereka biayai (Contohnya TV Pemerintah AS VOA muncul di satu TV
Swasta di Indonesia sementara TVRI tidak bisa muncul).
Itulah sekilas dari Sistem
Neoliberalisme. Krisis Global yang terjadi saat ini tak lepas dari ulah
kaum Neoliberalis. Kenapa Indonesia terkena Krisis Global? Itu karena
ekonom yang diberi tanggung-jawab mengurusi ekonomi Indonesia secara
sadar/tidak sadar menganut sistem ekonomi Neoliberalisme. Tahun 1998
Indonesia kena krisis moneter. Tahun 2008 hingga sekarang kembali kena
krisis ekonomi sehingga PHK dan pengangguran meraja lela.
Neoliberalisme sangat berbahaya. Inilah komentar mantan presiden Venezuela tentang Neoliberalisme.
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru/rudal, tapi dengan wabah kelaparan
Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000
Referensi:
”Ekonomi Islam Vs Ekonomi Neo-Liberal”, M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi
LIPI
Kompas
The most dramatic evidence of
globalization is the increase in trade and the movement of capital
(stocks, bonds, currencies, and other investments). From 1950 to 2001
the volume of world exports rose by 20 times. By 2001 world trade
amounted to a quarter of all the goods and services produced in the
world. As for capital, in the early 1970s only $10 billion to $20
billion in national currencies were exchanged daily. By the early part
of the 21st century more than $1.5 trillion worth of yen, euros,
dollars, and other currencies were traded daily to support the expanded
levels of trade and investment. Large volumes of currency trades were
also made as investors speculated on whether the value of particular
currencies might go up or down.
Neo liberalisme sarat dengan kepentingan asing dan memiliki tanda
atau ciri melalui legitimasi MOU IMF (Struktural Adjustmen Program) ,
WTO, World Bank (ADB) yaitu :1. Liberalisasi perdagangan dan pasar bebas
2. Mekanisme campur tangan pemerintah tidak ada lagi
3. Mencabut Subsidi (termasuk sektor publik)
4. Mencabut Monopoli (idem)
Hal yang sangat mendasar inilah yang akan memporak porandakan kita semua jika ketahanan tidak kita miliki, diantaranya ketahanan energi, pangan,
dan lain-lain.
Dan jangan lupa kita juga ikut terjebak dan menggelar pertemuan bilateral dan multilateral pada tahun 1995 lewat APEC di Bogor, ikut serta GATT (Tarif bea impor 0%), Putaran Uruguay, AFTA, G7/G8/G9, ACFTA
Sangat rumit dan pesimis mencitakan kembali seperti Venezuela, Arab Saudi, Iran atau Bolivia dan lain-lain yang sadar akan potensi negaranya.
Kita harus Revolusi pemikiran dan tindakan untuk mendobrak peraturan perundangan sebelumnya untuk direvisi dan tindakan tegas dengan kebijakan ekonomi yang pro rakyat !!!!!!!!!!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar