BANYAK yang mengatakan bahwa Indonesia adalah “bukan
negara Islam” dan “bukan negara sekular”. Tapi, tidak ada yang
mengatakan, bahwa Indonesia adalah “negara yang bukan-bukan”. Faktanya,
di Indonesia seorang Muslim mendapatkan kebebasan luas untuk menjalankan
hukum dan ajaran agamanya.
Tetapi, itu tidak berlaku di bidang pidana. Dalam bidang ekonomi,
Muslim Indonesia bisa memilih: bank Islam atau bank konvensional. Di
bidang pidana, seorang Muslim belum punya pilihan untuk memilih hukum
Islam. Seharusnya, sesuai dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945, setiap Muslim
mendapatkan kebebasan untuk beribadah menurut agamanya.
Seharusnya, dalam kasus pembunuhan, misalnya, antara pelaku dan
keluarga korban ditawarkan oleh hakim di Pengadilan, apakah mau
menggunakan hukum Islam atau hukum yang lain. Ketiadaan pilihan hukum
Islam bagi orang Muslim ini menunjukkan bahwa umat Islam belum
mendapatkan kebebasan menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam.
Contoh lain, umat Islam dipaksa untuk melawan hukum Allah, dengan
ditetapkannya hukum yang melarang Muslim menikahi perempuan di bawah
umur 18 tahun. Dan sebagainya.
Contoh-contoh itu menunjukkan, bahwa masih ada persoalan antara
keislaman dan keindonesiaan, yang perlu diselaraskan – setidaknya dalam
pemikiran seorang Muslim. Masalah keislaman dan keindonesiaan, atau
bagaimana seorang Muslim berislam dan sekaligus berindonesia, masih
terus menjadi perbincangan luas di berbagai kalangan umat Islam.
Pada 14 Oktober 2014, di sebuah acara TV Swasta, seorang politisi
membuat pernyataan, bahwa di atas hukum agama dan adat masih ada
konstitusi negara. Juga, ia menyebut dirinya sebagai ‘orang Indonesia
yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia’.
Pernyataan itu segera memicu kontroversi dan perdebatan luas di dunia
maya. Ada yang mendukung. Ada juga yang menyindir, agar jika di politisi
meninggal, dibacakan saja ayat-ayat konstitusi, bukan ayat-ayat
al-Quran.
Hari-hari ini, banyak Muslim di DKI Jakarta bertanya-tanya, haruskah
mereka ridho dan ikhlas dipimpin oleh pemimpin non-Muslim, sementara
sejumlah ayat al-Quran melarang mengangkat pemimpin kafir (QS 4:138-141,
dll.). Lalu, muncul pernyataan seorang pemuka agama, “Kita orang Islam
meyakini kebenaran al-Quran, tetapi kita juga terikat dengan
kesepakatan-kesepakatan yang harus diikuti.”
Pernyataan itu masih menyimpan tanda tanya. Bagaimana jika
“kesepakatan” itu bertentangan dengan ajaran Islam. Apakah orang Islam
harus ikhlas menerima? Misal, hukum di Indonesia tidak mengkriminalkan
pezina dewasa dan suka-sama suka. Apa umat Islam harus setuju dan ridho?
Haruskah seorang Muslim Indonesia ridho dan setuju dengan hukum negara,
dimana seorang laki-laki harus dijebloskan ke dalam penjara karena
menikahi wanita berumur 17 tahun?
Berulang kali umat Islam Indonesia harus menyaksikan sejumlah
organisasi Islam berdebat dan berselisih paham tentang penentuan awal
Ramadhan dan Hari Raya Islam. Keputusan pemerintah RI – melalui sidang
Isbat Kementerian Agama dan Ormas Islam — tidak dipandang sebagai
keputusan yang mengikat. Ada yang menyebut pemerintah RI bukan “Ulil
amri” yang harus ditaati.
Itulah beberapa contoh persoalan antara “ke-Islaman” dan
“ke-Indonesiaan” yang masih saja bergulir di tengah masyarakat hingga
kini. Begitu beragamnya pandangan umat Islam tentang hal ini. Ada
sebagian umat Islam Indonesia yang memandang Indonesia adalah negara
kufur karena menerapkan sistem demokrasi dan hukum-hukum selain hukum
Islam. Dalam sebuah buku berjudul “Peranan Iman Jihad dan Ciri-ciri
Mukmin yang Benar Imannya”, ditulis: “Semua penguasa/pemerintah negara
kafir adalah pentolan thaghut dan semua ideologi dan hukum/Undang-undang
yang dipakai mengatur Negara yang dikuasainya juga thaghut. Maka
Presiden/Wakil Presiden N.K.R.I. adalah pentolan thaghut. UUD 1945,
Pancasila dan semua hukum yang berlaku di N.K.R.I. adalah thaghut, maka
wajib diingkari dan dijauhi oleh setiap Muslim.”
Dalam sebuah buku berjudul “Demokrasi Sistem Kufur:Haram
Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya, (Bogor : Pustaka
Thariqul Izzah, 1994), disebutkan, bahwa ’Demokrasi’ yang dijajakan
Barat adalah sistem kufur dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Islam, dan kaum Muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi
serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Lalu,
disimpulkan: ”Kaum Muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena
demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.”
Sebuah buku berjudul ”Kalau bukan Tauhid Apa Lagi? Membedah NKRI
dengan Millah Ibrahim (buku II, hlm. 106), menyebutkan: ”Berarti RI
adalah negara jahiliyah, kafir, zhalim dan fasiq, sehingga wajib bagi setiap Muslim membenci dan memusuhinya, serta haramlah mencintai dan loyal kepadanya.”
Pandangan bahwa Indonesia adalah negara ”kafir” dan wajib dijauhi
membawa konsekuensi umat Islam haram masuk sistem, haram ikut pemilu,
dan diharuskan untuk ”meninggalkan” pemerintahan. Dalam buku ”Kalau
bukan Tauhid…”, (hlm. 191), ditegaskan: ”Kita tidak boleh shalat di
belakang orang kafir atau orang murtad, umpamanya shalat di belakang
anggota MPR/DPR atau polisi atau tentara atau anshar thaghut yang
lainnya yang mana dia menjadi imam shalat.”
Bisa dibayangkan, jika pandangan semacam ini diterapkan, maka secara
otomatis, umat Islam akan tersingkir dari seluruh sistem pemerintahan
dan kehidupan di Indonesia. Pandangan ini pun menyisakan banyak soal.
Misalnya, apakah Presiden, Gubernur, Bupati, polisi, tentara, dan
seluruh anggota legislatif harus non-Muslim? Jika sebuah masjid digusur
atau tanahnya dipalsukan sertifikatnya, apakah tidak boleh diperjuangkan
di pengadilan dengan menggunakan hukum selain hukum Islam?
Arus utama
Organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia masih tetap memelihara
gagasan untuk memadukan gagasan keislaman dan keindonesiaan dengan
menjunjung tinggi cita-cita Islam. Persyarikatan Muhammadiyah, misalnya,
dalam Anggaran Dasarnya mencantumkan tujuan: “Maksud dan tujuan
Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Adapun, usaha yang
dilakukan adalah: “Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah
melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan
dalam usaha di segala bidang kehidupan.”
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki tujuan sesuai Anggaran Dasarnya:
“Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal-Jamaah dan
mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan, di
dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.” Ada pun usaha yang dilakukan NU
adalah: “Di bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam dalam
masyarakat dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar serta
meningkatkan ukhuwah Islamiyah.”
Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS), yang saat ini merupakan partai
berasas Islam terbesar di Indonesia, dalam anggaran dasarnya,
mencantumkan tujuannya, bahwa: “Partai Keadilan Sejahtera adalah Partai
Da’wah yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera yang
diridlai Allah Subhanahu Wata’ala, dalam negara kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
Sedangkan usaha yang dilakukan untuk meraih tujuannya adalah: (1)
Membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk kezaliman. (2) Membina
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islami. (3) Mempersiapkan bangsa
Indonesia agar mampu menjawab berbagai problema dan tuntutan masa
mendatang. (4) Membangun sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (5) Membangun negara Indonesia baru
yang adil, sejahtera dan berwibawa.*/bersambung..Loyatitas tertinggi Muslim harus pada Agamanya
berislam dan ber Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar