–“Metafisika ialah ilmu yang membahas tentang
prinsip dasar dan sebab-sebab wujud. Istilah metafsika ini digunakan
pertama kali oleh penyunting tulisan Aristoteles, sehingga karya tulis
itu dinamai itu dinamai dengan Metafisika Aristoteles,” Demikian
disampaikan ungkap Adnin Armas, MA. ketika membuka perkuliahan kesepuluh
Sekolah Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL, pada hari Kamis
(13/11/2014).
Perkuliahan yang dihadiri oleh beberapa aktivis dari lembaga dakwah
berbasis kampus serta beberapa chapter #IndonesiaTanpaJIL sekitar
Jabodetabek ini diadakan di Aula Aula Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilizations (INSISTS) di bilangan Kalibata, Jakarta
Selatan. Tema yang diangkat kali ini adalah “Pengantar Filsafat”.
Di awal perkuliahannya, Adnin Armas menjelaskan beberapa aspek
pemikiran Aristoteles pada jaman sebelum Nabi Isa as yang membahas
keterkaitan seseorang yang berbentuk wujud kepada yang menciptakan wujud
tersebut.
“Filsafat Aristoteles ada beberapa yang mengarah pada ketuhanan,
tentang adanya keterkaitan kita sebagai manusia di sini, bisa melakukan
ini-itu, mendengar, dan lain-lain, dengan sang pengatur alam semesta
yang ada di sana, ditempat yang tidak bisa kita jangkau. Sehingga kita
ini ada, karena kehendak-Nya. Jika Dia tidak berkehendak maka kita tidak
akan ada di sini,” jelas Adnin yang juga menjabat sebagai Pimpinan
Redaksi Majalah Gontor.
“Ada beberapa pendapat Aristoteles yang keliru mengenai konsep wujud.
Sehingga dibutuhkan koreksi mengenai pemikiran konsep wujud tersebut,”
ujar Adnin.
Dalam perkuliahannya kali ini, Adnin Armas juga menyebutkan beberapa
tokoh filsuf yang terkenal lainnya seperti Plato dan Socrates yang telah
mewarnai perkembangan ilmu di Barat sebelum era Katolik menghegemoni di
Barat, sehingga meleburkan semua hasil pemikiran mereka.
“Pada saat Katolik berada pada jaman keemasannya, pemikirannya
berlawanan dengan pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh para filsuf
sebelum hegemoni Katolik, sehingga Katolik pun akhirnya dipaksa
mengikuti filsafat-filsafat modern yang kemudian berkembang menjadi ide
meliberalkan agamanya sendiri,” ungkap Adnin.
Sebagai akibat dari perkembangan secara liberal ilmu filsafat di
Barat, beberapa pemuda Muslim yang tidak mempunyai modal ilmu agama
mendalam menjadi tergiur untuk menerapkannya dalam Islam.
Adnin kemudian mengkritisi produk filsafat saat ini yang dominan
dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa universitas Islam seperti
hermeneutika dan semacamnya, yang bagi Islam sangat bertentangan.
“Tragisnya, dosen-dosen tidak menepisnya, justru semakin menggiring
mahasiswanya untuk menelan mentah-mentah filsafat semacam itu,” kata
Direktur Eksekutif INSISTS ini.
Di akhir pembahasannya, Adnin Armas kembali menegaskan bahwa ilmu
filsafat yang banyak dikembangkan sekarang ini tidak membuat seseorang
menjadi lebih dekat kepada Tuhan-nya, namun justru membuat orang semakin
membantah keberadaan Tuhan-nya.
“Mempelajari Islam adalah lebih utama, karena ketika pemahaman agama
itu telah kita miliki dengan kuat, maka kita akan dapat menyaring
pemikiran-pemikiran filsafat post-modern yang tanpa batas,” pungkasnya.
“Pengantar filsafat ini adalah materi yang cukup berat bagi mahasiswa
SPI, karena ketika mempelajari filsafat umumnya harus berfikir layaknya
‘sepilis’. Padahal masih ada cara lain untuk berta’aruf dengannya,
yaitu dengan melindungi aqidah diri dengan nilai-nilai Islami,” ujar
Refvhyta G. Respatih, salah seorang aktivis KAMMI Al-Faruq yang
mengikuti perkuliahan SPI ini.*/Adif Widhianto Fauzi
Post-Modernisme itu Filsafat Tanpa Batas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar