PENDAHULUAN
Filsafat
Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan
filsafat. Permasalahan yang kemudian
timbul adalah bagaimana mempertemukan agama sebagai wahyu Tuhan dengan filsafat
sebagai hasil ciptaan dan pikiran manusia.
Permasalahan ini muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan
kebenaran filsafat yang berlandaskan pemikiran dan logika manusia.
Alternatif jawaban
atas pertanyaan tersebut tidak lebih dari tiga kemungkinan. Pertama, berpegang teguh kepada agama dan menolak
filsafat. Ini adalah pendapat orang
beragama yang tidak berfilsafat. Kedua,
sebaliknya, berpegang teguh kepada filsafat dan menolak agama, dan ini
adalah pendapat orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah
agama. Ketiga, mengupayakan
pemaduan antara filsafat dengan agama menurut cara tertentu, dan cara inilah
yang ditempuh oleh para filosof muslim ataupun para filosof yang memperhatikan
kaidah-kaidah agama.[1]
Wacana
tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu obyek kajian
yang menjadi tuntutan lingkungan islam terutama menurut para filosof. Para
filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan. Dan mereka menghormati nilai-nilai serta
prinsip-prinsipnya. Namun mereka juga
percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat. Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran
yang tak diragukan, dan oleh karenanya, mereka tidak ingin mengorbankan
filsafat karena agama dan tidak ingin membunuh agama demi filsafat. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali
berupaya memadukan agama dan filsafat serta menyingkirkan hal yang nampak
bertentangan (paradoks) di antara keduanya.
Ini berarti bahwa ide sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan
bagi mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat dengan tanpa
mengurangi keteguhan mereka dalam memegang Islam serta meletakkan filsafat pada
posisi yang sejajar dengan Islam.[2]
PERMASALAHAN
Diskursus
tentang sinkretisme, meskipun merupakan wacana yang sudah sering diungkap dalam
berbagai kesempatan, namun tidak kehilangan relevansinya untuk diungkap kembali
pada kesempatan ini. Setidaknya terdapat
beberapa pokok permasalahan seputar sinkretisme agama dan filsafat, antara lain
:
a. Faktor-faktor apakah yang
melatar belakangi upaya para filosof Islam untuk mengajukan wacana sinkretisme
antar agama dan filasafat ?
b. Faktor-faktor apa saja
yang mendorong Ibnu Rusyd untuk terlibat dalam upaya memadukan agama dengan
filsafat ?
c. Bagaimanakan
pandangan-pandangan Ibnu Rusyd yang mendasar berkaitan dengan pemaduan antara
agama dan filsafat tersebut ?
d. Benarkah Ibnu Rusyd telah
meninggikan filsafat ketimbang agama ? Ataukah sebaliknya ?
Pembahasan pada bagian
berikut berupaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
secara sistematis.
PEMBAHASAN
Islam
sebagai agama moderat senantiasa menganjurkan jalan pertengahan (tawasuth). Karenanya, dapat diketahui bahwa semangat
pemaduan dan pertengahan merupakan salah satu corak pemikiran kaum Muslimin
dalam berbagai lapangan kehidupan.
Setiap kali ada aliran-aliran yang berlawanan, tentu akan timbul
penengahnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah aliran dan pemikiran dalam
Islam. Aliran Asy’ariyah dalam ilmu kalam dapat dikatakan merupakan aliran
pertengahan dari golongan yang memegangi tekstual bunyi nash tanpa mengemukakan
penafsiran rasional, dengan aliran Mu’tazilah yang mempertahankan kebebasan
akal sepenuhnya dalam memahami nash dan penafsirannya. Dalam lapangan hukum Islam, madzhab Syafi’i
merupakan madzhab pertengahan yang terletak diantara Madzhab Maliki yang
mendasari pendapatnya kepada Hadits sesudah Qur’an (ahlu al-Hadits), dengan madzhab Hanafi yang mendasari
pendapat-pendapatnya kepada pikiran dan ijtihad (ahlu al-ra’yi).[3]
Di
samping itu, terdapat juga beberapa
faktor lain yang mendorong pemaduan antara agama dengan filsafat, yaitu :
1.
Adanya
jurang pemisah yang dalam antara Islam dengan filsafat Aristoteles dalam
berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri Nya, Qadimnya alam,
hubungan alam dengan Tuhan, keabadian jiwa, dan lain sebagainya.
2.
Adanya
serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan agamawan terhadap setiap
pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan akidah yang
telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini
sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan
penguasa-penguasa terhadap para filosof.
3.
Hasrat
para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut
agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu nampak pertentangannya
dengan agama.[4]
Makalah ringkas ini berisi pandangan
filsafat Ibnu Rusyd berkaitan dengan upaya pemaduan dan persesuaian antara
agama dengan filsafat.
BIOGRAFI IBNU RUSYD
Kehidupan Ibnu Rusyd
Ia
adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, kelahiran Kordoba pada tahun
520 H, berasal dari kalangan keluarga yang terkenal keutamaannya dalam lapangan
hukum Islam dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalus. Ayahnya adalah seorang
hakim, dan datuknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd Al-Jadd adalah Kepala Hakim di Kordoba. Latar belakang keagamaan inilah yang
memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi dalam studi-studi
keislaman. Al Qur’an beserta
penafsirannya, Hadits Nabi, Ilmu Fiqh, Bahasa dan Sastra Arab dipelajarinya
dari para alim di zamannya. Dia
mempelajari al-Muwattha’ langsung
dari ayahnya dan menghapalnya. Dia juga
mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika dan filsafat serta ilmu
pengobatan[5].
Karirnya dalam
filsafat diraihnya melalui pergaulan dan belajarnya dari Ibnu Thufail yang
membawanya dekat dengan Khalifah Abu Yusuf al-Mansur, yang kemudian memintanya
untuk menuliskan ulasan-ulasan terhadap pemikiran-pemikiran Aristoteles. Tugas ini dikerjakannya selam beberapa tahun
dan menjadikannya Pengulas Ulung terhadap karya-karya Aristoteles. Untuk itu,
dia memperoleh julukan Al-Syarih (The Commentator).
Di akhir hayatnya,
Ibnu Rusyd mengalami cobaan berat. Para
ahli fiqh yang bekerja di istana khalifah memfitnahnya sehingga khalifah marah
dan membuangnya ke Alesana (Lucenna), sebuah kota dekat Kordoba. Setelah bebas dari pembuangan, ia pindah ke
Maroko dan wafat tahun 595 H.[6]
Karya-karya Ibnu Rusyd
Kegemarannya
terhadap ilmu sulit dicari bandingannya.
Hal ini terlihat jelas dari karya-karyanya yang meliputi berbagai cabang
ilmu, seperti : fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan
filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu
lembar tulisan telah ditulisnya.
Buku-bukunya adakalanya berupa
karangan sendiri, ulasan ataupun ringkasan.
Kekaguman dan penghormatannya kepada Aristoteles membuatnya memberikan
perhatian besar untuk memberikan Ulasan dan ringkasan bagi pemikiran dan
karya-karya Aristoteles. Di samping itu,
turut diulasnya pula karya-karya Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus,
Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Bajah.
Karya-karyanya yang
terpenting dan sampai kepada kita antara lain :
- Bidayah al-Mujtahid; sebuah buku bernilai tinggi berisi perbandingan madzhab dalam fiqh
- Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal; Buku inidimaksudkannya untuk memnunjukkan adanya kesesuaian antara agama dengan filsafat.
- Manahij al-Adillah ; berisi pandangan-pandangannya tentang persoalan dan aliran dalam ilmu kalam beserta kelemahan masing aliran tersebut.
- Tahafut al-Tahafut; suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat, dimaksudkan untuk melakukan pembelaan terhadap filsafat dari serangan hebat al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.
Mengapa Ibnu Rusyd Memperhatikan Sinkretisme Agama dan Filsafat ?
PANDANGAN IBNU RUSYD TENTANG AGAMA DAN FILSAFAT
Ibnu
Rusyd turut terlibat dalam diskursus pemaduan antara agama dengan filsafat,
bahkan melebihi para filosof sebelumnya, karena ia telah mampu memberikan
uraian yang cukup panjang dan mendalam. Dalam tujuan ini, Ibnu Rusyd menulis
kitab Fashl al-Maqaal dan Manahij al-Adillah, serta Tahafut al-Tahafut.[10] Dengan segenap ketekunan, Ibnu Rusyd harus
mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat, karena adanya serangan yang
berat terhadap filsafat , terutama dari Al-Ghazali. Karenanya, Ibnu Rusyd harus melakukan
pembelaan terhadap filsafat dan menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan
dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-perumusannya.
Dalam menguraikan
perlunya pemaduan tersebut, Ibnu Rusyd menguraikan empat persoalan. Pertama,
keharusan berfilsafat menurut Syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengertian
batin serta keharusan ta’wil. Ketiga, Aturan-aturan dan Kaidah
ta’wil. Keempat, Pertalian akal
dengan wahyu.[11]
Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antar
agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari
filsafat Islam. Cara yang digunakan oleh
Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.[12]
Dalam Fashl
al-Maqaal, Ibnu Rusyd mengawali pembahasaannya dengan keharusan berfilsafat
menurut Syara’. Menurut Ibnu Rusyd,
filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan
memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya. Qur’an berkali-kali memerintahkan hal yang
demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2
yang mengandung perintah i’tibar dan nazhar.
Kedua ayat tersebut secara tegas memerintahkan untuk mengambil qiyas aqli atau qiyas aqli dan qiyas syar’i bersama-sama. I’tibar
dan nazhar yang dimaksudkan dalam
kedua ayat tersebut tidak lain adalah pengambilan sesuatu hukum yang belum
diketahui (majhul) dari sesuatu yang
telah diketahui (ma’lum). Ini berarti, penyelidikan alam wujud tidak
bisa tidak, mesti menggunakan qiyas aqli. Karena itu, penyelidikan yang bersifat
filosofi menjadi suatu kewajiban. [13]
Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat dipahami secara
logika, dengan mengikuti premis–premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy sebagai
berikut :[14]
Premis minor :
Penyelidikan filsafat secara
nazhari aqli di alam ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada pembuatnya,
yaitu Allah.
Premis mayor :
Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia untuk
memperhatikan dan memikirkan penciptaan di alam ini agar manusia mengenal
Tuhannya (Allah)
Konklusi :
Pengkajian filsafat dalam kerangka
diatas adalah kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode burhan
(demontrasi)
Kalau seorang faqih berdasarkan ayat tersebut menetapkan
adanya qiyas syar’i, maka berdasarkan
ayat tersebut pula seorang filosof lebih berhak lagi untuk menetapkan adanya qiyas aqli. Bila dikatakan qiyas aqli adalah sebuah bid’ah, maka demikian pula halnya dengan qiyas syar’i, karena keduanya tidak
terdapat pada masa permulaan Islam. Kalau pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara’ maka seorang ahli pikir harus
mempelajari logika dan filsafat. Untuk
itu, karena filsafat telah berkembang sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti
Plato dan Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof terdahulu
tersebut adalah suatu keniscayaan.
Tidaklah mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian membangun
filsafat yang baru sama sekali dengan meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat
yang telah berkembang sebelumnya.[15]
Keharusan Ta’wil
Para
filosof Islam bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber
pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran.
Akan tetapi, dalam Qur’an dan Hadits, terdapat banyak nash yang secara
lahir bertentangan dengan filsafat. Bagi
Ibnu Rusyd, nash-nash tersebut dapat dita’wilkan sepanjang memenuhi
aturan-aturan ta’wil dalam bahasa Arab, seperti halnya lafazh-lafazh dari
Syara’ dapat pula dita’wilkan dari segi aturan fiqh. Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak
semua kata-kata yang datang dari Syara’ diartikan menurut lahirnya, tidak pula
harus dikeluarkan semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna
batinnya. Penafsiran (pena’wilan)
semacam inilah dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan para filosof.
Dengan demikian,
ada arti lahir dan arti batin. Bila arti
lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus diambil dan kalau
berlawanan maka harus dicari pena’wilannya.
Arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu kata dari arti yang sebenarnya
kepada arti yang majazi (allegorik).[16]
Rangkapnya arti
tersebut, dikarenakan perbedaan pandangan orang dan kemampuannya untuk
mempercayai. Manusia dalam hal ini
terdiri dari tiga golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu golongan
pemakai qiyas burhani, qiyas jadali, dan qiyas khithabi.[17]
Qiyas burhani adalah qiyas yang terdiri
dari dasar-dasar pikiran (premis) yang yakin dan berpijak pada hukum-hukum
aksioma. Karena itu, qiyas tersebut
memiliki konklusi yang meyakinkan, dan itulah qiyas yang sebenar-benarnya dan
lazim dipakai dalam dunia pemikiran filsafat.
Qiyas jadali terdiri dari dasar-dasar
pikiran yang masih berada dalam daerah kemungkinan, yang diterima oleh semua
orang atau sebagian besarnya atau diterima oleh semua filosof, dan
kesimpulannya juga masih berada pada daerah kemungkinan pula. Qiyas
jadali ini tidak bisa menggantikan qiyas
burhani dan hanya bisa dipakai dalam arena perdebatan dan yang sejenisnya.
Qiyas khithabi adalah qiyas yang
didasarkan atas pikiran-pikiran dasar yang lemah dan hanya sesuai untuk pilihan
si pendengar dan keadaan jiwanya. Qiyas ini bersifat sentimentil, yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi atau memberi kepuasan jiwa, bukan untuk
memberikan pengertian yang benar.[18]
Golongan para
pemakai qiyas burhani adalah para
filosof yang mempunyai dalil-dalil yang kuat.
Sedangkan golongan pemakai qiyas
jadali adalah para teolog Islam (mutakallimin)
yang hanya sampai ke tepi keyakinan tetapi tidak sampai mengarunginya. Adapun qiyas
khithabi adalah manusia pada umumnya yang kurang memiliki kecerdasan otak,
dan fitrahnya masih kurang sempurna, sehingga tidak mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.[19]
Aturan-aturan Ta’wil
Ibnu Rusyd
meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan ta’wil, yaitu :
1.
Setiap
orang harus menerima prinsip-prinsip Syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi
bahwa Syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung
olehnya.
2.
Yang
berhak mengadakan ta’wil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof
tertentu saja, yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ta’wil ini tidak boleh dilakukan oleh
ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin,
karena keterbatasan ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah
menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam Islam.
3.
Hasil
pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada orang awam
karena orang awam hanya mengetahui arti lahirnya nash.
4.
Kaum
Muslimin bersepakat bahwa dalam Syara’ ada tiga bagian, yaitu : Bagian yang
harus diartikan menurut lahirnya; bagian yang harus dita’wilkan; dan bagian
yang masih diperselisihkan.
Dalam hal pena’wilan terhadap sesuatu yang sudah
disepakati untuk diartikan menurut lahirnya ataupun pengartian menurut lahirnya
dari sesuatu yang semestinya dita’wilkan, diperlukan ijma’ kaum muslimin.
Dalam kaitan
ini, menurut Ibnu Rusyd, para ulama membagi ijma’ menjadi dua, yaitu ijma’
dalam amalan lahir dan ijma’ dalam amalan penyelidikan akal. Mereka menetapkan bahwa ijma’ dalam soal-soal
akidah tidak mungkin terjadi dengan jalan yang yakin, sebagaiman yang mungkin
terjadi dalam soal-soal amalan. Dalam soal-soal amalan, ijma’ bisa terjadi
apabila sesuatu amalan tersebut luas, kemudian tidak terdengar ada pendapat
yang menyalahinya. Ketidak mungkinan
ijma’ seperti ini pula yang, sebagaimana diakui pula oleh Al-Ghazali
sendiri. Karena itu, sangatlah
berlebihan dalam hal yang tidak mungkin terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para
filosof disalahkan , bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.
Kedudukan Wahyu dan Pertaliannya dengan Akal
Ibnu Rusyd, meskipun ia memuja kekuatan akal
dan mempercayai kesanggupannya, untuk mengetahui, namun ia menyatakan bahwa
dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat
diketahuinya. Karena itu, dalam hal ini
harus dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang untuk menyempurnakan
akal. Dalam bukunya, Tahafut al-Tahafut ia menyatakan,
“Segala sesuatu yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya kepada
manusia melalui wahyu”. Dalam hal ini
yang dimaksudkan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam permasalahan : bagaimana
mengetahui Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di
akhirat, dan mengetahui jalan untuk
mencapai kebahagiaan dan menjauhkan kesengsaraan tersebut.
Persoalan-persoalan
tersebut, seluruhnya atau sebagian besarnya, tidak akan bisa dijelaskan secara
sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan dengan wahyu maka lebih
utama. Hal ini dapat dimengerti, karena
filsafat bertujuan mengamalkan tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari
mereka, yaitu mereka yang mempunyai kesanggupan untuk mempelajarinya. Atau dengan kata lain, ditujukan kepada orang
yang pandai saja. Sedangkan Syara’
bermaksud memberikan tuntunan atau pelajaran kepada orang banyak secara umum.
Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi semua orang.
Jadi, wahyu
dianggap oleh Ibnu Rusyd sebagai suatu keharusan untuk semua orang, dan
kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada di bawah kekuatan wahyu. Inilah
yang terungkap dari dalam kedua bukunya Manahij
al-Adilah dan Tahafut al-Tahafut. Sikap ini pula yang kemudian mengundang
banyak pertanyaan dan kontroversi, apakah Ibnu Rusyd seorang rasionalis tulen
atau bukan.[20]
PENUTUP
Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa upaya sinkretisme agama dan filsafat merupakan keniscayaan
sejarah, kondisi dimana para filosofnya
berupaya menjaga eksistensi filsafat dari serangan para tokoh-tokoh Islam yang
menentangnya. Alternatif terbaik yang
dapat diambil oleh para filosof muslim adalah berupaya melakukan sinkronisasi
antara agama dan filsafat.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu
Rusyd, yang secara mendasar dan dengan pendekatan yang sama sekali baru
dibanding para filosof pendahulunya,
berupaya melakukan pembelaan atas filsafat dengan menempatkannya pada
posisi yang tidak diametral dengan agama, bahkan menjadikannya sebagai salah
satu keharusan dalam upaya memahami agama secara baik.
Dalam Ibnu Rusyd sinkretisme agama dan filsafat didasari
pada empat prinsip dasar. Pertama, keharusan berfilsafat menurut
Syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan
ta’wil. Ketiga, Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil. Keempat, Pertalian akal dengan wahyu.
Dengan keempat prinsip tersebut, yang dijabarkan secara
sistematis dalam karya-karya utamanya, Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat
sebagai bagian dari keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap memberikan
otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian Ibnu Rusyd sesungguhnya
bukanlah rasionalis tulen yang menafikan wahyu.
DAFTAR BACAAN
Abdul Maqsud,
Abdul Maqsud Abdul Ghani . Al-Taufiq bayn al-Din wa al-Falsafah ‘inda
Falasifah al-Islam fi al-Andalus (Agama
dan Filsafat) terj. Saifullah &
Ahmad Faruq. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
2000
Al-Ahwani, Ahmad Fuad.
Filsafat Islam. terj.
Tim Pustaka Firdaus. Pustaka
Firdaus. Jakarta. 1997
Al-‘Iraqiy,
Muhammad ‘Athif. Al-Manhaj al-Naqdiy fi Falsafah Ibn Rusyd. Dar al-Ma’arif. Kairo.
1980
Al-‘Iraqiy, Muhammad
‘Athif. Al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd. Dar al-Ma’arif. Kairo.
1979
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta.
1996
Ibn Rusyd. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa
al-Syari’ah min al-Ittishal. Dar al-Ma’arif. Kairo.
1980
Madkour, Ibrahim.
Aliran dan Teori Filsafat Islam. Terj. Yudian W. Asmin. Bumi Aksara. Jakarta. 1995
Musa, Muhammad
Yusuf. Bayn al-Din wa al-Falsafah : fi Ra`yi Ibn Rusyd wa falasifah al-‘ashr
al-wasith. Dar al-Ma’arif. Kairo. 1968
‘Uwaidhah, Kamil Muhammad Muhammad. Ibn
Rusyd al-Andalusiy : Failasuf al-‘Arab wa al-Muslimin. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut.
1993
Sharif, M.M, The
Philosophers, dalam History of Moslem
Philosophy. Terj. Ilyas Hasan.
Mizan. Bandung. 1998
[1] Musa, Muhammad Yusuf. Bayn
al-Din wa al-Falsafah : fi Ra`yi Ibn Rusyd wa falasifah al-‘ashr al-wasith.
Dar al-Ma’arif. Kairo. 1968
hal. 45-46
[2] Abdul Maqsud, Abdul Maqsud
Abdul Ghani . Al-Taufiq bayn al-Din wa al-Falsafah ‘inda Falasifah al-Islam fi
al-Andalus (Agama dan Filsafat) terj. Saifullah & Ahmad Faruq. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
2000 hal. 5
[3] Musa, op.cit. hal. 46-47
[4] ibid. 47-48
[5] Sharif, M.M, The Philosophers,
dalam History of Moslem Philosophy. Terj.
Ilyas Hasan. Mizan. Bandung. 1998
hal. 197 - 199 Riwayat hidup lebih lengkap dapat dilihat
pada ‘Uwaidhah,. Ibnu Rusyd al-Andalusiy, Dar
al-Kutub al-‘ilmiyah. Beirut. 1993
hal. 19 - 41
[6] Al Ahwani. Filsafat
Islam. Pustaka Firdaus. Jakarta.
1997 hal. 113
[7] Ibnu Masarrah al-Qurthubi (w. 319 H), dikenal dengan nama Aben
Masarra, menulis risalah Al-I’tibar, berupa risalah ringkas
berisi penjelasan bagaimana suatu pemikiran yang bebas dan bersih (obyektif)
dapat mencapai hakekat-hakekat yang dibawa oleh agama dan kebenaran, yaitu
pembuktian adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, dan penjelasan tujuan hidup dalam
format yang mudah dipahami bagi orang awam.
Pembahasan tentang risalah ini dapat dilihat pada Abdul Maqsud, op.cit.
hal. 14-38
[8] Ibnu Thufail (w. 581 H), dikenal dengan nama Abubacer, menulis
risalah dalam bentuk roman dengan gaya
bahasa simbolik, Hayy bin Yaqzhan, yang
bertujuan menjelaskan kemampuan akal untuk mencapai kesempurnaan dan menggapai
esensi-esensi kebenaran yang diserukan oleh agama. Kisah ini menonjolkan adanya dua metode ilmu
pengetahuan (epistemologi), yaitu metode penalaran (Thariq al-Nazhar) dan metode illuminasi-inisiatik (Thariq al-Kasyf wa al-Ilham) yang
ditempuh oleh sang tokoh (Hayy) sekaligus.
Pembahasan tentang metode Ibnu Thufail ini dapat dilihat pada Abdul
Maqsud. op.cit, hal. 39 – 63.
[9] Abdul Maqsud, op.cit, hal.
69 - 75
[10] Al-‘Iraqiy, Muhammad
‘Athif. Al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd. Dar al-Ma’arif. Kairo.
1979 hal. 270
[11] Secara lengkap tentang keempat topik bahasan tersebut dapat dilihat
pada Musa, op.cit. hal. 91 –110
[12] Sharif, op.cit. 203
[13] Ibn Rusyd. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah
min al-Ittishal. Dar
al-Ma’arif. Kairo. 1980
hal. 1 – 3. Lihat juga Musa, op.cit hal. 91 dan al-‘Iraqiy , al-Naz’ah hal
271-272
[14] Al-‘Iraqy, al-Naz’ah , hal.
272
[15] Ibn Rusyd op.cit.
hal. 4 - 12
[16] ibid. hal. 20
[17] ibid. hal 16
[18] Ibnu Rusyd, op.cit. hal. 56 - 60
[20] Al-‘Iraqiy, al-Naz’ah, hal. 289