about

Allah tujuan kami, Rasul uswah kami, Alqur'an pedoman kami, tegaknya syariat Islam adalah cita cita kami
RSS

Meneguhkan Nilai Islam Nusantara Sebagai Wujud Islam Berkemajuan


Abstrak
Pada hakikatnya selogan Islam Nusantara yang diusung oleh salah satu komunitas agama terbesar di Indoneisa bukanlah hal yang baru di negara Indonesia. kutipan kata “Nusantara” yang disandingkan dengan “Islam” menunjukan keragaman sebagai salah satu karakter atau ciri Islam Nusantara. Islam nusantara adalah buah dari pergumulan panjang antara agama dan budaya; antara teks dengan konteks yang saling melengkapi satu sama lain sehingga menelurkan Islam yang ramah, inklusif dan fleksibel. Istilah Islam Nusantara senada dengan istilah pribumisasi Islam yang diperkenalkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alternatif dalam upaya pencegahan praktik radikalisme agama. Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis Islam Nusantara yang menempatkan Islam secara kontekstual sebagai bagian dari proses budaya. Kalau boleh disadari, meskipun sedikit terlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai cara pandang futuristik Gus Dur perihal Islam Indonesia ke depan, agar tidak terperangkap dalam radikalisme dan terorisme. Dua hal yang mencerabut Islam dari akar Nusantara.
 Atas dasar tersebut, artikel ini coba menyuguhkan analisa tentang Islam Nusantara yang bermuara pada Islam berkemajuan. Hadirnya artikel ini sebetulnya juga ingin menjawab kasak-kusuk yang menuding bahwa Islam Nusantara hanya identik dengan kaum Nahdliyin. Sehingga istilah Islam Nusantara tidak lain dianggap sebagai nama baru dari Islam tradisionalis.
Kata kunci: Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Inklusif




Pendahuluan
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamiin yang bersifat universal. Artinya, misi dan ajaran Islam tidak hanya ditujukan kepada satu kelompok atau negara, melainkan seluruh umat manusia dan makhluk hidup juga alam semesta. Namun demikian, pemaknaan universalitas Islam dalam kalangan umat muslim sendiri tidak sama. Ada kelompok yang mendefinisikan bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad yang nota-bene berbudaya Arab adalah final dan absolut, sehingga harus diikuti secara utuh dan sebagaimana adanya. Ada pula kelompok yang memaknai universalitas ajaran Islam sebagai yang tidak terbatas pada waktu dan tempat, sehingga bisa masuk ke dalam budaya atau kultur apapun. Kelompok pertama berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada di dunia menjadi satu, sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Budaya yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Kelompok ini disebut kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara kelompok kedua menginginkan Islam dihadirkan sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu. Kelompok ini disebut kelompok substantif. Ada satu lagi kelompok yang menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari sisi Islam yang bersifat substantif, dan ada pula yang literal.
Kehadiran wacana Islam Nusantara atau pribumisasi islam (menurut Gus Dur) tidak terlepas dari kontras ketiga kelompok di atas. Islam nusantara ingin memposisikan diri pada kelompok ketiga. Ia muncul akibat “kegagalan” kelompok pertama yang menghadirkan wajah Islam tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada budaya lain, bahkan menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Begitu juga kelompok kedua yang dianggap kurang memahami dan terlalu jauh keluar dari syariat ajaran Islam.
Dalam pidatonya pada konferensi 33th Nahdlatul Ulama di Jombang, KH. A. Mustofa Bisri mengatakan bahwa saat ini dunia menderita degradasi nilai-nilai kemanusiaan, dunia yang penuh yang kekacauan dan konflik berdarah. Di Timur Tengah, sebuah Kelompok radikal berbicara dan mengklaim dirinya sendiri atas nama Islam, tapi tindakan dan perbuatan mereka yang berbeda dengan nilai-nilai asli dan ruh dari ajaran Islam. Kelompok radikal ini menawarkan Islam  ke seantero dunia dengan wajah yang mengerikan. Kelompok ini mengatakan dan mentasbihkan bahwa mereka merupakan wakil Islam. Masyarakat internasional bertanya – tanya di mana Islam yang konon, mengajarkan perdamaian dan memberikan penghormatan kepada kemanusiaan, Islam sebagai rahmatan li al-'alamin, Islam sebagai sumber rahmat bagi semua ras, bangsa dan alam semesta.
Di tengah dinamika dan kebingungan ini, umat muslim mencari semacam Islam yang damai dan penyayang, salah satunya adalah konsep Islam Nusantara yang sekarang sedang intens dipromosikan dan ditawarkan ke negara- negara islam.
Pembahasan
 Mengapa Islam Nusantara ini benar-benar layak untuk mendapatkan perhatian kita? Ada banyak alasan untuk itu. Salah satu alasan ini diberikan oleh Said Aqil Siraj seperti yang disebutkan di bawah ini: para dai muslim, sejak pertama kali dakwah mereka tidak pernah membuang secara langsung praktik kearifan dan tradisi lokal yang telah menyebar ke seluruh Nusantara dari waktu lalu[1]
Istilah Islam Nusantara  terdengar aneh seperti istilah yang serupa seperti islam Brunai Darussalam, Islam arab Saudi, Islam Turki dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena dasar dan pegangan teguh umat islam didunia ini didasarkan pada sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Lantas bagaimana kita memahami Islam Nusantara ala NU dan Islam Berkemajuan Muhammadiyah? Najib Burhani—seorang intelektual muda Muhammadiyah—sebagaimana disitir oleh Akhmad Sahal, melihatnya sebagai bentuk respon yang berbeda terhadap hal yang sama: globalisasi. Islam Nusantara yang ia gambarkan sebagai “langgamnya Nusantara, tapi isinya Islam. Bajunya Indonesia tapi badannya Islam” adalah manifestasi dari sikap menghadapi globalisasi dengan indigenisasi menekankan keunikan budaya. Ini berbeda dengan Muhammadiyah yang di mata Najib justru menekankan universalisme dan kosmopolitanisme dalam menanggapi globalisasi. Tetapi Najib, menurut Akhmad Sahal, gagal melihat betapa dari perspektif ushul fikih, kedua jargon tersebut justru mencerminkan dua sisi mata uang yang sama, yakni kontekstualisme islam[2].
Baik Islam Nusantara maupun Islam Berkemajuan sama-sama mempertimbangkan perubahan situasi dan kondisi masyarakat, dengan menjadikan prinsip kemaslahatan sebagai tolok ukurnya. Yang pertama menekankan pembaruan pemahaman Islam karena perubahan konteks geografis (dari Arab ke Nusantara), sedangkan yang kedua menyerukan pembaruan Islam karena perubahan zaman menuntut pembaruan/tajdid.
Dalam memahami gagasan Islam Nusantara, yang menurut subjektivitas penulis  merupakan langkah-langkah untuk membentuk Islam yang berkemajuan, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu konsep tipologi sikap keberagamaan. Komarudin Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni “eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme”. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.[3]
kelima tipologi beragama itu harus menjadi ciri dan karakter manusia beragama secara bersamaan. Sebab, tanpa kecenderungan beragama yang pertama, kedua,dst. tidak akan memunculkan kesadaran dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kalaupun terjadi, akan nampak kehampaan spiritual, yang akan muncul adalah keinginan timbal balik berupa penghargaan sosial atau penghormatan atas jasa
Dalam faham inklusivisme seseorang masih tetap meyakini bahwa agamanya paling baik dan benar. Namun, dalam waktu yang sama, mereka memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan pemuluk agama lain. Sejarah membuktikan bahwa semua pendiri agama besar selalu bersikap inklusif. Sementara itu, ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau ideologi beragama yang dianut para pemuka agama dan penguasa negara, maka biasanya agama bukannya menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber konflik. Sedangkan pluralisme agama sebagai suatu keniscayaam teologis dan historis, sikap kedewasaan memeluk suatu agama akan tumbuh kebenarannya. Bisa jadi orang yang menganggap semua agama sama saja menunjukkan bahwa dia kurang taat dalam beragama serta tidak serius mendalami ajaran suatu agama.[27]
Inklusivitas beragama memang sangat diperlukan dalam memelihara perdamaian. Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka agama – melalui para pengikutnya – harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme. Kita boleh melihat agama sebagai absolut, karena mungkin inilah makna kepenganutan kepada suatu agama. Namun, pemahaman kita, baik pribadi maupun kelompok melalui indera akal dan batin, menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Karena itulah, tidak ada tempat bagi seseorang untuk mengabsolutkan faham keagamaan sendiri.[28]
Ibn al-‘Arabi telah pula meletakkan prinsip-prinsip fundamental spiritualitas agama yang mengungkai persoalan kebahagiaan (diferensiasi) agama dalam apa yang dia sebut sebagai “lingkaran keberbagaian religius” (the circle of religious diversity).
Prinsip-prinsip fundamental itu adalah, diferensiasi agama-agama wahyu (revealed religions) semata-mata karena diferensiasi hubungan-hubungan keahlian; diferensiasi hubungan-hubungan keilahian (divine relationships) semata-mata karena diferensiasi keadaan-keadaan (states); diferensiasi keadaan-keadaan semata-mata karena diferensiasi waktu; diferensiasi waktu semata-mata karena diferensiasi gerakan-gerakan; diferensiasi gerakan-gerakan semata-mata karena diferensiasi perhatian-perhatian; diferensiasi perhatian-perhatian semata-mata karena diferensiasi tujuan-tujuan; diferensiasi tujuan-tujuan semata-mata karena diferensiasi penyingkapan-penyingkapan diri; dan diferensiasi penyingkapan-penyingkapan diri semata-mata karena diferensiasi agama-agama wahyu; dan seterusnya.[29]
Apabila kita menilik tentang sejarah perkembangan Islam di Indonesia, dakwah yang dilakukan oleh para ulama yang membawa Islam ke Indonesia selalu mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi realitas kebudayaan dalam masyarakat Indonesia.  Keberagaman suku, budaya, dan adat-istiadat mendorong keanekaragaman ekspresi keislaman di Indonesia.
Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret dakwah yang sengaja melakukan inkulturisasi Islam. Para wali mempergunakan instrumen-instrumen kebudayaan yang ada untuk memasukkan pesan-pesan Islam. Misalnya, tradisi selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, pada masa dahulu di masyarakat Jawa dilaksanakan jika anggota keluarga meninggal dunia. Oleh para wali, momen dan forum kumpul-kumpul tersebut dibiarkan, tetapi dimodifikasi dengan membaca Yasin, Tahlil, Tasbih, Tahmid, dan Selawat, dengan diselingi pesan-pesan keagamaan. Pagelaran wayang, yang merupakan media hiburan dan edukasi masyarakat Hindu-Jawa, dimodifikasi sedemikian
Keberadaan Islam Nusantara memiliki implikasi yang besar dan mendalam pada kehidupan masyarakat Indonesia. Pertama, ada hubungan yang kuat antara agama dan tradisi dan budaya, sehingga dari awal islam sangat menentang setiap jenis imperialisme, baik di aspek politik atau budaya. Kedua, dari waktu kedatangannya, Islam aktif berpartisipasi dalam membela kebebasan, mendirikan negara, dan juga  berperan penting dalam membangun sebuah konstitusi yang didasarkan pada agama dan tradisi dan karenanya Pancasila lahir sebagai kesepakatan nasional. Ketiga, karena rasa  menjaga dan cinta untuk kearifan lokal dan tanah air, Islam Nusantara tidak pernah andil dalam bagian apapun pada pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, karena pemberontakan tersebut dianggap sebagai pengkhianatan untuk negara.
Ahmad Baso dalam bukunya, Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, menganalogikan bahwa Islam Nusantara itu ibarat pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dalam proses persilangan akan menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul. Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk memeroleh genius baru dengan karakter atau sifat-sifat unggulan yang diinginkan. Bibit ini akan tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi dan cengkeraman lingkungan manapun, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya sehingga bisa tumbuh dan besar dengan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan dua spesies berbeda itu maka diharapkan muncul spesies baru yang populis, kualitas peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan. Dan spesies baru itulah yang disebut Islam Nusantara. Maka kalau kita yakin betul Islam Nusantara itu adalah hasil persilangan dua bibit unggul maka ijtihad kunyit lebih mendukung keunggulan kekayaan alam Nusantara kita dibandingkan, misalnya mengimpor habbatussawda (jinten hitam).[4]
Oleh sebab itu, islam nusantara NU dan Muhammadiyah  memiliki banyak potensi dan kapasitas islam berkemajuan untuk membangun kembali peradaban Islam  rahmatan lil’alamin yang sempat padam. Dengan gagasan ini diharapkan mampu berkontribusi lebih untuk islam Internasional dalam memberikan kedamaian, kesejahteraan serta kemaslahatan umum ditengah dinamika dan polemik yang menerpa negara-negara Islam di Timur Tengah. Seperti Mesir, Lebanon, Syiria, Iraq dan lainnya.
Kesimpulan
            Kita tidak bisa mendikotomi/ mengkotak-kotakkan sebuah gerakan atau term Islam selama itu demi kemaslahatan bersama dan sesuai dengan tuntunan agama. Term Islam Nusantara merupakan salah satu gagasan untuk membuikan islam yang damai dan toleran dan menjadi antitesis dari gerakan Islam yang ada di Syiria dan Iraq yang menampilkan wajh islam yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang termaktub di dalam Al-Qur’an yaitu sebagai Rahmatan lil’alamin.
Umat muslim Indonesia saat ini harus memikirkan untuk bagaimana merumuskan sebuah gerakan yang mampu mengkotomi dan merangkul seluruh ormas yang saling bersinggungan dan berbeda faham. Perbedaan pemahaman dyang dianut pada hakikatnya adalah suatu kewajaran, akan tetapi fanatisme golongan yang berlebihan tidak boleh untuk ditampilakan dan dipelihara, karena akan memberikan dampak negative yang akan berimbas pada kesatuan umat islam dan juga bangsa Indonesia.Islam merupakan sesuatu bagian, sedangkan umat islam adalah bagian yang lain. Meski berbeda namun merupakan sebah sistem dan kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan.


Daftar Pustaka
Madjid, Nurcholish, 2009, Islam, Keindonesiaan dan Modernisasi, Jakarta, Penerbit Mizan Pustaka
Nakamura, Mitsuo, Ed, 1997. Tradisionalisme Radikal : Persinggungan NU-Negara, Yogyakarta, LkiS.
Hamka , Buya, 1997. Sejarah Umat Islam.jakarta, Pustaka Nasional.
Nurcholish Madjid dalam Kata Pengantar Grose & Hubbard (ed), Op.Cit, hal. Xix





[1] . Mustofa Bisri, "Islam Nusantara: Revolusi Mental dan Instruksi dari The Great Syeikh", Aula Majalah Nahdlatul Ulama No. 09 SNH XXXVII September 2015, p. 63.
[2] Kamal Syaiful. “MENEGUHKAN ISLAM NUSANTARA UNTUK
ISLAM BERKEMAJUAN” Jurnal Mahasiswa IAIN. Tulungagung:18
[3] Dalam tulisannya : “Ragam Beragama”, Andito (ed), Op.Cit, hal. 119
[4] Ahmad Baso, Islam Nusantara Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid I,
Cet. I (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 55

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar