Rasanya tidak lagi sama seperti dulu. Kita yang dulu gila-gilaan, panas-panasan, menyerempet bahaya, meramaikan semua ajang diskusi, kini tercecer bak kelelawar menabrak-nabrak ranting pada malam hari nan sunyi.
Siapa menyangka, kejamnya waktu melempar masing-masing dari kita untuk memasuki dunia yang berbeda. Koalisi pertemanan yang dulu erat, kini retak tiada sisa. Perkawanan yang hangat, rontok dihantam badai intrik dan politik.
Meski dulu kita sama-sama berproses di HMI, kehangatan itu kini terasa kering. Hari-hariku telah jauh berbeda, bahkan dedaunan yang terhempas angin pun terasa enggan menyapaku.
Aku selalu berusaha mungkin untuk tidak pernah menyesali keputusan yang aku buat. Bagiku, tidak ada satu pun di dunia ini yang perlu dipertahankan kecuali keadilan. Meski akhirnya keputusan yang dibuat membuyarkan segala ikatan emosional, dan terasa pahit untuk dijalani, toh tiap orang memiliki keyakinannya sendiri.
Meski kegilaan dulu masih terbayang sesaat dalam permenunganku, mau tidak mau, kita semua harus berani ambil risiko. Lupakan yang sudah lewat, buka lembaran baru untuk ditorehi kisah-kisah baru.
Dulu kita berencana membentuk lembaga kajian, dengan itu kita berharap kebudayaan bangsa kita lebih intelek. Dulu kita sempat merancang suatu aliran pemikiran, dengan begitu kita dapat berkontribusi bagi arus pembaruan pemikiran keislaman.
Sering pada malam hari, entah pukul berapa, entah tengah malam atau sudah dini hari, aku keluar dan menghadap langit. Aku teringat dongeng ibuku di desa kala kecil dulu.
Di rembulan sana, katanya, ada buto ijo yang kejam. Kalau aku nakal dan berbohong, buto ijo tersebut akan turun dan memakanku, kata ibu. Saat itu aku begitu ketakutan. Sepahit apa pun risiko berpihak pada kejujuran, aku dididik untuk tidak pernah bohong pada diri sendiri meski beberapa kali akhirnya aku melakukannya.
Iya, aku pernah menipu, pernah berbohong, pernah mencuri, pernah jahat, pernah curang, pernah gagal, dan jatuh hingga berkeping-keping. Karena keteledoran dan gegabah, aku pernah suatu kali terpuruk tanpa ada satu pun manusia yang ku beri tahu ketakutanku.
Hingga suatu hari aku pernah berencana mengakhiri kehidupan yang munafik dan hiprokit ini. Seandainya saja aku tidak bertemu dengan buku-buku filsafat, mungkin hidupku sudah berakhir di tanganku sendiri.
Sejak masa terpuruk itu, buku telah menjadi cahaya semangat yang selalu memompa kesadaranku. Tidak pernah aku merasa sedamai ini kecuali bersama buku-bukuku. Dari bukulah aku demo. Dari bukulah aku tahu dunia ini berjalan dalam sistem yang tidak adil. Dari bukulah aku sadar agama tidak sesuci yang diajarkan. Dari bukulah aku terdorong untuk selalu bertanya, tidak puas, dan berteriak menuntut perubahan dalam segala sendi kehidupan.
Dari buku jugalah dulu kita membuat lingkar perubahan. Di dalamnya kita mendiskusikan banyak hal mengenai ide-ide pembebasan umat manusia.
Kebersamaan kita dulu terjaga oleh kesamaan kepentingan. Hingga akhirnya pada suatu titik, orang-orang yang berpikir dan pada suatu frekuensi tertentu, ide itu berbeda, dan di sanalah bibit-bibit perpecahan muncul. Sampai pada akhirnya aku yakin bahwa persatuan tidaklah mutlak. Demi keyakinan ide, apa pun menjadi relatif.
Hingga detik ini, aku yakin untuk menuju dunia yang ideal ada saat di mana cara-cara tidak ideal layak ditempuh. Aku tidak percaya Islam ditegakkan tanpa pertumpahan darah sedikit pun. Aku tidak percaya seorang Soekarno tidak pernah bohong. Aku tidak percaya seorang Soe Hok Gie tidak pernah curang.
Aku meyakini semua manusia, biar bagaimanapun, ceritanya tetaplah manusia. Sisi kemanusiaan tidak mungkin disingkirkan seratus persen dari sejarah manusia itu sendiri.
Aku kecewa pada orang-orang. Lembaga sekelas LBH Jakarta yang tiap waktu orang-orangnya berpeluh keringat membela si miskin yang tersangkut hukum tanpa meminta upah, tiba-tiba digeruduk dan dikacaukan segerombol massa dengan tuduhan murahan, dan banyak orang diam saja.
Sedangkan ustaz Abdul Somad yang jelas-jelas materi opininya tentang agama Islam memuat konten tidak progresif, dideportasi dari Hong Kong, orang ramai-ramai membela. Ini sungguh kemunduran peradaban bangsa.
Menurutku, semua omongan dan ajaran, entah diberi label kitab suci sekalipun, selama disampaikan oleh mulut manusia, tetaplah barang relatif. Kebenarannya tidak seratus persen. Itu artinya patut dicerna hati-hati dan jangan sampai ditelan mentah-mentah.
Agama sering kali menjadi alat yang efektif untuk menyelipkan ambisi pribadi. Orang-orang mudah dikelabuhi dengan sesuatu yang diberi label agama. Aku meyakini, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat yang sama. Oleh karenanya, aku menolak keras poligami.
Sudah bertahun-tahun aku mengkritik ajaran agama yang dimaknai secara literal tanpa dikaji secara matang menggunakan berbagai perspektif. Aku memaknai Quran tidak hanya berpatokan pada bunyi teksnya, tapi juga sejarah turunnya ayat, persoalan jaman itu seperti apa, konteksnya bagaimana, tujuan besarnya apa, dan apakah relevan tidak dengan jaman sekarang.
Sudah lama sekali aku meyakini pikiran ini. Sudah banyak pula aku menyuarakan pentingnya menghindari poligami maupun poliandri.
Di hadapan rekan dan sahabat, aku selalu tidak setuju dengan orang yang hidup hari ini, tapi pikiran dan cara hidupnya terjebak jaman ribuan tahun silam. Orang-orang seperti itu, manusia yang tenggelam oleh nostalgia masa lalu. Bagiku, mereka kaum utopis yang perlu dikasihani karena ketidakmerdekaannya dalam menggunakan akalnya sendiri.
Kekecewaanku makin bertambah, di balik barisanku menentang ajaran yang tidak progresif dan kompatibel dengan semangat HAM, ternyata teman dekatku sendiri mempraktikkan poligami. Poligami tanpa ada alasan yang darurat, bagiku, adalah konsep perkawinan yang tidak kompatibel dengan ide HAM manusia modern. Dalam pikiranku, praktik poligami terasa tidak adil, tidak fair. Itu pasti merugikan pihak perempuan, karenanya aku menolak ketidakadilan tersebut.
Komitmenku pada ide yang kuyakini tentu saja melahirkan konsekuensi perbuatan. Seandainya aku menjadi perempuan, aku tidak rela bila suamiku berduaan dengan perempuan lain (istri kedua). Konsep bersuami haruslah yang kesatuan jiwa dan fisiknya hanya untukku.
Begitu pula aku, jiwa dan ragaku tidak terbagi dan hanya untuk suamiku seorang. Dalam perkawinan, cinta dan nafsu (ego) haruslah menyatu. Jika terbagi dan tak padu, pasti merasa cemburu.
Justru karena tiap orang berbeda-beda, kita harus memilih salah satu di antara mereka untuk kita miliki selamanya. Sebagai lelaki, aku tidak dapat membayangkan dan entah betapa sakitnya seandainya aku menjadi perempuan, dan si suami memadu kasih berdua dengan istri lainnya.
Aku tidak rela bibirnya dipagut, badannya dielus, organnya disentuh, dan mereka menyatu saling memeluk dengan perempuan lain. Sungguh yang demikian terasa tidak adil. Sungguh itu tidak dapat dimengerti.
Menurut pemahamanku, Nabi Muhammad berpoligami karena alasan darurat. Muhammad terdesak untuk menyelamatkan persatuan, suku-sukunya terancam berselisih, umatnya rapuh, tidak kompak, sedang dirinya dituntut untuk bagaimana caranya dapat membangun pasukan yang tangguh demi tegaknya misi wahyu.
Artinya, kalau dia tidak melakukan tindakan politis dan kebetulan yang diambil adalah mengikat koalisi melalui perkawinan, maka itu membahayakan masa depan Islam.
Sedangkan manusia jaman sekarang berpoligami bukan karena itu. Poligami yang dipraktikkan manusia modern lebih karena faktor nafsu dan senang-senang ketimbang misi agama. Aku selalu bilang ke teman-teman, "Kalau kamu seorang pemimpin koalisi suku, lalu kelompokmu terancam terpecah, lalu akhirnya perjuangan agamamu gagal, dan jika poligami benar-benar solusi satu-satunya, berpoligamilah!"
Jika alasan-alasan di atas tidak terpenuhi, kupikir poligami hari ini bukanlah mencontoh yang dilakukan nabi, tapi lebih kepada kesenangan seksual semata. Entah diketahui atau tidak, atau sengaja dilupakan, jaman nabi adalah jaman di mana mempunyai gundik hingga ratusan adalah hal biasa.
Jadi, ajaran yang membolehkan beristri 4 adalah ajaran yang erat kaitannya dengan konteks, waktu, dan kebudayaan setempat. Itu artinya diperlukan pengkajian ulang untuk mengambil makna yang lebih relevan.
Gara-gara sikapku yang begini, akhirnya aku kehilangan teman. Sahabat dulu berjuang bareng bersamaku, yang dulu menemani hari-hariku, harus menjauh karena perbedaan ideologi. Aku bukan orang bersih atau suci, tapi aku benci ketidakadilan. Atas nama apa pun, aku selalu tidak setuju pada apa pun yang menurut pikiranku tidak adil. Keadilan menurutku adalah sesuatu yang wajib ada dalam kehidupan tiap manusia. Tanpa keadilan, aku tidak mau hidup.
Mungkin inilah pembuktian kalimat, "Katakanlah sesuatu itu meskipun terasa pahit."
Sungguh tidak mudah bersitegang dengan orang yang sudah bertahun-tahun menjadi temanmu dalam berdiskusi, berunjuk rasa, berkegiatan, dan berjuang bareng. Ini seperti kamu harus memotong kakimu sendiri yang terkena kanker. Kalau tidak kamu potong, kamu merasa sakit. Tapi kalau kamu potong, itu sudah menjadi bagian dalam dirimu. Terlalu pahit merelakan sesuatu yang sudah bertahun-tahun menemanimu
0 komentar:
Posting Komentar