Oleh : *Nasrul Mukhsinin
Pemeluk agama - agama di Indonesia mengalami
intensitas yang sangat tinggi dalam beberapa kurun waktu terakhir. Tingkat
kesadaran masyarakat akan pentingnya agama dalam kehidupan semakin meningkat,
berbanding lurus dengan sosialisasi agama dan pendidikan di masyarakat. Namun,
di sisi yang lain timbulnya agama agama yang lain ini memberikan dampak buruk terhadap
kerukunan masyarakat. Sikap intoleransi dan skeptis terhadap pemeluk agama yang
lain perlahan-lahan mulai menggerogoti nilai-nilai persatuan.
Dalam
kunjungan kami ke Gereja Kristen Indonesia ( selanjutnya disebut GKI) Gejayen
beberapa hari yang lalu, kami berkesimpulan bahwa metode penyebaran dakwah
teologis mereka menggunakan metode persuasif yang sistematis dan continue.
Semuanya tersusun secara rapi dan terencana. Di awali dengan proses pengajaran
serta pemahaman Al-kitab yang terbagi dalam beberapa waktu tertentu untuk semua
kalangan umat kristiani, kajian teologi kristiani pada kalangan intelektual,
serta sosialisasi kepada masyarakat yang berupa profit banking, pelayanan
kesehatan, pendidikan serta bimbingan konseling. Pendekatan sosial seperti ini
sejatinya telah lahir semenjak 1400-an tahun yang lalu, Nabi Muhammad SAW telah
memberikan contoh dakwah yang baik dalam proses penyebaran agama islam. Namun
metode metode tersebut mulai d tinggalkan oleh para reformis islam yang
paradigma berfikirnya telah tercemar faham radikalisme dan orientalis yang
merusak kemurnian ajaran islam. Faham yang dikloning dari faham sekulerisme dan
pluralisme ini melahirkan sebuah konsep keislaman terbaru yaitu konsep islam
fundamental, islam inklusif, dan islam liberal.
Di
waktu yang sama kami juga menanyakan bagaimanakah saran kalangan gerejawi
tentang toleransi umat beragama di Indonesia. Menurut salah satu Pendeta di GKI
tersebut yang bernama Hadiyan, proses toleransi kerukunan umat beragama saat ini
membutuhkan kesinambungan antara berbagai pihak yang harus dibangun dari
pondasi awal di masyarakat tanpa ada kepentingan dan intervensi tertentu. Namun
disinilah munculnya pertanyaan praktis dalam benak kami, saat ini masih adakah
toleransi bagi umat islam? Karna pada realitanya di dalam masyarakat saat ini
kita tidak pernah mendapati toleransi umat lain terhadap masyarakat muslim.
Kita ambil fakta real yang sedang hangat seperti kristenisasi, pemberian label
“ekstrim” pada ormas-ormas islam ( FPI, FUI, FAPD, dll), pelarangan dalam
menggunakan jilbab, dan lain sebagainya. Selain itu, menurut saya nilai
toleransi umat beragama modern ini lebih terkesan sebagai politisasi oknum
untuk kepentingan golongan tertentu dan juga sebagai cara. Toleransi di negeri ini
hanyalah selogan yang digunakan untuk meraih profit yang besar.
Masalah
toleransi menjadi pembicaraan yang hangat akhir-akhir ini, lantas bagaimana
sikap kita.? apakah islam mengajarkan toleransi.? Ya, Islam memang mengajarkan
sikap toleransi. Toleransi itu membiarkan umat lain menjalankan ritual
agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi itu tidak memaksa umat lain
untuk memeluk Islam. Rasul juga menjenguk non-Muslim tetangga beliau yang
sedang sakit. Rasul juga bersikap dan berbuat baik kepada non-Muslim. Toleransi
semacam ini telah memberikan contoh bagi masyarakat lain bahwa islam merupakan
agama rahmatan lil’alamin yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kedamaian.
Namun, toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan
dengan Islam atau bukan juga toleransi yang berakibat perusakan syariah dan
akidah ketauhidan.
Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya.
Muncullah sikap toleran yang kebablasan, khususnya pada sebagian Muslim. Sikap
toleran yang kebablasan itu didorong agar dilakukan oleh seluruh Muslim negeri
ini. Diserukanlah bahwa sikap bertoleransi itu harus diwujudkan dengan
memberikan selamat, bahkan menghadiri hari raya non-Muslim. Yang lebih parah,
baru dianggap toleran jika Muslim melepaskan keyakinannya yang tidak sesuai
dengan keyakinan orang lain. Misalnya, keyakinan bahwa wanita Muslimah haram
menikah dengan pria non-Muslim. Mempertahankan keyakinan demikian dianggap
tidak toleran.
Alhasil,
toleransi saat ini digunakan sebagai senjata oleh kalangan liberal dan
non-Muslim untuk menyasar Islam dan umatnya. Sedikit-sedikit mereka menyebut
kaum Muslim tak toleran jika ada masalah yang menyangkut komunitas non
Muslim—meski tak jarang sebenarnya itu menyangkut aturan negara. Masalah
toleransi yang tidak difahami dengan benar oleh masyarakat menjadikan umat
islam Indonesia kekinian mengalami masa masa yang berat. Islam mulai terpecah
belah oleh kediktatoran nilai demokrasi dan undang-undang. Umat islam dianggap
intoleransi terhadap agama lain. Meskipun umat muslim Indonesia mendukung
perdamaian,tapi kenapa umat islam harus menggunakan atribut agama lain pada
hari-hari besarnya? Apakah ini suatu keadilan atas nama toleransi?
Peristiwa
seperti ini dijadikan momentum penting menanamkan ide sinkretisme dan
pluralisme. Melalui upaya ini, akidah umat Islam secara pelan-pelan terus
tergerus. Ide pluralisme ini mengajarkan bahwa semua agama sama. Ajaran ini
mengajak umat Islam untuk menganggap agama lain juga benar. Pemahaman toleransi
yang salah dapat menyebabkan pluralisme agama. Pluralisme agama adalah salah
satu agenda liberalisasi pemikiran. Dalam pandangan manusia pluralis, semua
agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Salah satu cara yang mereka
tempuh untuk tujuan tersebut adalah membesar-besarkan masalah toleransi,
seakan-akan ia hal baru dalam Islam. Padahal jika kandungannya bukan ide-ide
sekular-pluralis, Islam sudah matang bertoleransi sejak ia lahir. Sementara
jika maknanya adalah relativisme, maka pluralisme tidak lebih dari kepanjangan tangan
dari postmodernisme.
Dalam soal toleransi beragama,
antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang
dengan rekayasa semacam itu. Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang
diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai
saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan,
sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada
hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen
menikmati libur Natal dan Paskah?
Tengoklah
pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal!
Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar
lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim,
suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa. Khusus
dalam konteks Natal, itu berarti umat Muslim didorong untuk menerima kebenaran
ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus. Jika ide
pluralisme itu berhasil ditanamkan di tubuh umat Islam, hal-hal yang selama ini
sensitif terkait masalah agama seperti pemurtadan, nikah beda agama dan
sebagainya akan makin mulus berjalan. Lebih jauh, semangat umat Islam untuk
memperjuangkan syariah agar dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan
masyarakat akan makin melemah. Di dalamnya juga ada propaganda sinkretisme,
yakni pencampuradukan ajaran agama-agama. Dalam konteks Natal Bersama dan Tahun
Baru, sinkretisme tampak dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun
baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan
kafir, juga batasan halal dan haram, sudah sangat jelas.
Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan
Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam
bidang teknik pencitraan, bahwa islam dicitrakan sebagai sebuah agama yang
tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah
mereka adalah umat yang tertindas dan teraniaya. Adanya kasus-kasus
tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga islam dicitrakan
sebagai agama yang tidak menghargai beragama.
Toleransi umat Islam dinegeri
ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak
toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan
non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan
Hemat saya, ketidak-selarasan
dan ketidak-seimbangan yang saya simpulkan dari hasil diskusi dengan pendeta GKI Gejayen ini dengan realita
membuat saya menyimpulkan bahwa toleransi yang kini ada hanyalah sebatas
kemunafikan serta fatamorgana yang tampak nyata tapi penuh politisasi demi
kepentingan oknum dan golongan tertentu. Islam mengajarkan toleransi, namun
jangan sampai ini merusak keimanan. Prinsip islam dalam toleransi antar umat
adalah “agama yang paling benar adalah agama islam”. Dan saya
menyarankan kepada rekan-rekan pembaca agar tidak salah dalam mengartikan
toleransi yang berujung pada gagasan sinkretisme dan pluralisme agama. Karna
ide pluralisme dan sinkretisme merupakan pembantahan terhadap konsep ketuhanan
Allah SWT yang absolut dan mutlak, dan tentu saja berujung kepada kemusyrikan.
Wallahu
a’lam bi showab.
*) Mahasiswa semester atas jurusan Bahasa dan
Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.