about

Allah tujuan kami, Rasul uswah kami, Alqur'an pedoman kami, tegaknya syariat Islam adalah cita cita kami
RSS

Peran Pemuda Muslim di Era Modern



Dunia saat ini di ambang kehancuran. Serangkaian gejala yang terjadi di planet ini mengarah kepada kerusakan kehidupan. Tengoklah pada gejala semakin memanasnya bumi yang akan berdampak luas terhadap pola kehidupan di darat, udara maupun laut, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, politik manusia, yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan mengundang kekacauan. Kerusakan-kerusakan tersebut disebabkan oleh proses industrialisasi yang gencar dilaksanakan sebagai konsekuensi diterapkannya model pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi semata. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia berhasil menciptakan alat pemusnah sesamanya yang lebih ampuh.
Disamping itu, belakangan ini kita sering tercengang oleh tingkah laku para remaja atau pelajar, terutamsa di kota-kota besar. Kenakalan yang remaja dan pelajar lakukan tidak layak lagi disebut kenakalan, lebih tepat dikatakan “kejahatan remaja”. Bagaimana tidak, kejahatan yang mereka lakukan tidak berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa, bahkan dalam beberapa kasus, mereka lebih sadis dalam melakukan tindakan kejahatan. Sudah tentu kerugian moril dan materiil jelas ada. Dan krisis moral yang ada di kalangan remaja tidak lain disebabkan oleh krisis keagamaan. Rendahnya pemahaman dan kesadaran beragama membuat manusia tidak punya kontrol dan kendali yang akan menuntun amal dan moral dalam dirinya. Dengan demikian, untuk dapat mengembalikan moralitas remaja kita sebagai ummat muslim harus mengembalikan atau menumbuhkan nilai-nilai keagamaan dalam diri mereka.
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (fiiakhsani takwiim). Juga manusia telah dimuliakan dengan kelebihan-kelebihan sebagaimana penegasan Allah dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70. Namun Allah juga mengingatkan adanya sifat-sifat buruk yang melekat pada manusia yang dapat menghantarkan kepada jurang kehinaaan. Al-Qur’an surat at-Tiin ayat 5 mengatakan hal itu.
Kecenderungan manusia untuk berbuat jelek karena manusia memiliki nafsu di-samping akal dan hati nurani. Hawa nafsu adalah potensi yang mempunyai sifat menyukai hal-hal yang enak, nikmat, lezat, mudah, baik, indah, tidak pernah puas dan mempunyai kecenderungan yang jelek apabila tidak dituntun rahmat Allah (QS. Yusuf: 53). Sementara itu akal merupakan potensi yang mempunyai kemampuan untuk menangkap hukum-hukum alam atau sunatullah, memahami masalah dan sekaligus mampu memecahkan masalah kehidupan. Sedang hati nurani merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berlaku baik, jujur, adil, sayang kepada sesama dan taat kepada Allah Sang Pencipta.
Di samping itu Allah menurunkan wahyu yang berfungsi untuk memberi petunjuk, informasi tentang sesuatu yang tidak mungkin dijangkau akal, juga tentang Tuhan. Hati nurani cenderung untuk menerima kebenaran wahyu sebab fitrah manusia adalah beragama (QS. Ar-Ruum: 30), sedang hawa nafsu bila tidak mendapat rahmat Allah cenderung menolak.
Akal akan menunjukkan jalan yang diinginkan nafsu atau hati nurani. Bila hati nurani yang menang dalam pertarungan (tarik menarik) dengan nafsu maka akal akan menunjukkan bagaimana mencapainya, begitu pula sebaliknya bila hawa nafsu yang menang. Dengan akal manusia bisa belajar. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 Allah menerangkan hal ini. Jelaslah manusia bisa memahami sunatullah untuk kemudian merumuskannya menjadi ilmu pengetahuan. Dengan akalnya manusia juga mampu berfikir, imajinatif, sehingga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya ilmu pengetahuan tersebut diterapkan dalam kehidupan dalam bentuk teknologi. 

Dalam hal ini, peran muslim terutama para pemuda muslim sangat diperlukan untuk menentukan jadi apa dan mau seperti apa dunia ini kelak. “Youth is the strongest”. Pemuda adalah kekuatan, vitalitas dan energik. Mungkin kalimat itulah yang pantas, pas, dan cocok untuk menggambarkan akan besarnya potensi yang dimiliki setiap pemuda. Masa muda laksana matahari yang terbit di pagi hari kekuatan pancarannya menyinari jagad raya ini, tak seperti ketika terbenamnya di senja hari. Allah SWT pernah menggambarkan masa muda itu adalah masa diantara dua kelemahan. Sebagaimana firman-Nya:
 Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikanmu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan kamu sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (ar-Rum: 54).

Secara eksplisit ayat ini menjelaskan tiga fase utama dalam kehidupan manusia, yaitu masa kanak-kanak, masa muda dan masa tua. Untuk fase pertama dan terakhir dalam kehidupan manusia ditandai dengan kelemahan dan ketergantungan. Sedang fase kedua dalam kehidupan manusia ditandai dengan kekuatan, keperkasaan dan semangat tinggi.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa muda secara universal baik fisik, mental, intelektual dan potensialitasnya mencapai tingkat perkembangan dan pemanfaatan yang optimum. Masa muda adalah masa ketika fikiran menunjukkan kapasitas dan kapabilitas intensif dalam bentuk prima. Bahkan Islam-pun memberikan porsi dan catatan tersendiri akan eksistensi pemuda dalam kehidupannya. Rasulullah SAW telah memberi semacam nilai tambah dan penghargaan pada makna dan nilai pemuda. Hal itu tercermin dalam sabda beliau yang meminta kepada pemuda untuk memanfaatkan potensi yang ia miliki untuk memperjuangkan agama Allah.
Maka dari itu, Islam memerintahkan kepada ummatnya , khususnya para pemuda untuk benar-benar memanfaatkan dan menggunakan nikmat yang Allah SWT berikan itu (berupa potensi kekuatan) untuk suatu tujuan mulia, yaitu menegakkan panji-panji Islam di muka bumi ini. “Mengapa mesti pemuda yang diserahi peran untuk menimbulkan atau me-munculkan kembali peradaban Islam di tengah-tengah peradaban modern yang mengkha-watirkan ini?”. Sebab pemudalah yang akan melanjutkan estafet perjuangan generasi tua.
Tantangan umum bagi pemuda Muslim di dunia modern adalah “membangkitkan kembali Peradaban Islam”. “Kebangkitan Peradaban Islam” dapat disederhanakan dengan arti timbulnya kembali nilai-nilai Islam dan mewarnai dalam kehidupan ummat di dunia. Memang, tujuh abad pertama kaum muslimin pernah mencapai masa keemasan dan tujuh abad berikutnya mengalami kemunduran. Inilah tugas pemuda muslim, “bagaimana peradaban dan panji-panji Islam itu seharusnya dibangkitkan dan diaktualisasikan atau bagaimana seharusnya merealisasikan kalimat al-Islaamu Ya’lu Wala Yu’la ‘Allah”?.
Peradaban dan panji-panji Islam akan bangkit tergantung kepada revolusi intelektual yang memerlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan kepenting-an dunia dan akhirat. Kemudian menyusun strategi dan sasaran yang tepat. Untuk meng-aktualisasikan kebangkitan Islam, pemuda Muslim harus menyusun skala prioritas yang merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Shahihah. Ijtihad dan jihad adalah dua poin yang tepat dalam konteks ini. Peran lain yang harus dilakukan oleh pemuda Muslim adalah untuk memberikan warna (shibghah) Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pemuda Muslim harus mempunyai wawasan yang tinggi dan baik-baik tentang keislaman maupun ilmu penunjang lainnya. Pemuda Muslim harus merancang suatu landasan yang berwawasan ke depan yang akan memberikan tempat berpijak demi kemajuan dan peradaban Islam masa sekarang dan mendatang. Tak ada disiplin ilmu pengetahuan yang paling baik dan sempurna kecuali Islam itu sendiri.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dari peran dan tugas tersebut adalah mengetahui akar penyebab kemunduran ummat Islam. Kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan merupakan akar penyebab timbulnya permasalahan tersebut. Jadi, dengan kata lain, penguasaan ilmu pengetahuan dan islamisasi ilmu pengetahuan merupakan prasyarat untuk melanjutkan rekonstruksi Peradaban Islam itu. Disamping kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan, ada satu hal yang sangat fundamental tentang penyebab kemunduran Peradaban Islam di era modern ini, yaitu mereka (kaum Muslimin) telah meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam bahasa sederhananya, kaum Muslimin tidak lagi menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, tugas pemuda dalam membangkitkan kembali peradaban Islam bukanlah tugas yang mudah. Mereka harus siap untuk tempur dalam menjawab tantangan-tantangan yang ada. Tantangan-tantangan itu beragam. Kita sebut saja sebagai tantangan ideologi, tantangan modernitas, tantangan invasi kebudayaan dan masih banyak tantangan lainnya. Semua tantangan-tantangan itu takkan pernah terjawab oleh pemuda Muslim kecuali mereka yang mempunyai sifat-sifat berikut:
1.      Pemuda yang Rabbani
Pemuda Rabbani adalah pemuda yang menghabiskan masa mudanya hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Ia curahkan segala kekuatan dan potensi yang ia miliki untuk membela al-Islam ini. Ia dinamis, optimis, penuh semangat, kreatif dalam mempelajari, mengamalkan dan mengajarkan Islam. Said bin Jabir berkata: Rabbani adalah ahli hikmah dan taqwa. Allah SWT berfirman:
Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi ia berkata: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu selalu mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79).
2.      Pemuda yang bisa menempatkan diri antara kepentingan dunia dan akhirat
Firman Allah: Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenik-matan) duniawi... (al-Qashash: 77).
Ada pemuda muslim yang menghabiskan waktunya hanya di masjid. Sementara aktivitasnya di luar ia tinggalkan. Sikap semacam ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Nabi sendiri tidak membenarkan sahabat melakukan hal yang demikian ketika beliau ketahui ada di antara sahabatnya yang bersikap semacam itu. Ada pula pemuda Muslim yang terbuai dan terpesona akan gemerlapnya dunia sehingga ia lupa akan kehidupannya di akhirat kelak. Ia lupa tugas dan peranannya sebagai pemuda muslim. Larut dalam mabuk-mabukan, perzinaan, tindak kriminal serta tindak amoral lainnya. Hal ini jelas akan menjadi penghambat laju kebangkitan ummat Islam. Sikap semacam inipun tidak dibenarkan Islam. Lalu bagaimana sikap pemuda Muslim? Pemuda Muslim harus berada di antara dua sikap di atas. Yaitu seimbang antara aktivitasnya untuk dunia dan akhirat. Sebab dua hal tersebut tak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemuda Muslim tau apa yang mesti ia kerjakan.
3.      Pemuda yang ber’izzah tinggi
Salah satu dalih yang biasa dikemukakan kaum muda terutana mereka yang menjadi promotor kemaksiatan adalah gengsi dan mengikuti perkembangan zaman. Tidak sedikit pemuda yang rela mengorbankan izzahnya hanya karena popularitas, gengsi dan modern. Pemuda Muslim sejati adalah pemuda yang jauh dari gambaran di atas dan selalu bangga dengan keislamannya. Mereka tidak pernah malu pergi ke masjid hanya karena takut dikatakan kolot. Mereka selalu setia dan menjaga “libasuttaqwa-nya” (pakaian taqwa). Karena mereka yakin dengan firman Allah: “Janganlah kamu takut dan gentar, karena sesungguhnya kamu itu tinggi (izzahnya) jika kamu beriman”.
4.      Pemuda yang pemberani dan berkepribadian kokoh
Pemuda Muslim adalah pemuda yang mempunyai keberanian dalam mengatakan al-Haq dan menumpas kebathilan. Sanggup berkata lantang di depan penguasa yang zhalim. Kepribadiannya kokoh dan tegar tak mudah diombang-ambingkan zaman. Selalu siap untuk mengorbankan ilmunya, hartanya, tenaganya bahkan jiwanya untuk kepentingan Islam.
Sedikitnya dengan empat sifat itulah yang harus dimiliki oleh setiap pemuda Muslim dalam ranga membangkitkan kembali serta mengaktualisasikan Peradaban Islam di dunia era modern ini.
Seorang pemuda Islam yang telah memahami tugasnya dalam mengemban risalah Islam dan menyadari kemuliaan jalan da’wah yang ditempuhnya untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaannya, ia sudah selayaknya untuk senantiasa mengikatkan dirinya, pemikiran dan perbuatannya untuk kepentingan da’wah. Seluruh potensi yang dimilikinya sepantasnya tercurah bagi tegaknya risalah Islam di muka bumi ini.
Adalah merupakan kewajiban bagi umat Islam khususnya generasi mudanya untuk terus memperjuangkan al-Islam ini kapan dan dimana saja berada. Bahwa kebangkitan Peradaban Islam kembali tergantung ummat Islam itu sendiri. Sebab kita semua meyakini bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (meski Dia berkuasa untuk itu) sehingga kaum itu mengubah dirinya sendiri.
Akhirnya , sejauh mana pemuda Muslim memainkan peranannya di tengah-tengah kehausan spiritual di sisi lain dan kesadaran berislam di lain pihak. Sampai akhirnya 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kapasitas Kualitas dan Kuantitas Kader

Kekuatan dalam sebuah harakah atau pergerakan salah satunya ada pada kapasitas kualitas serta kuantitas kader dari harakah tersebut. Ketiga hal tersebut menjadi sesuatu yang urgenbagi berkembangnya sebuah harakah, terlebih dalam harakah dakwah. Kasus di lapangan hari ini, sering kali menempatkan target kuantitas sebagai target utama yang harus dipenuhi. Sebetulnya memang mengejar target kuantitas bukanlah hal yang keliru, akan tetapi mengejar target ini tidak harus kemudian menjadi orientasi utama dari sebuah harakah. Kenapa? karena jika sebuah harakah terlalu menempatkan target kuantitas sebagai tujuan utama dari sebuah harakah, maka kecenderungan untuk membekali dan meningkatkan kapasitas kualitas dari kader-kader yang ada di dalamnya cenderung lemah atau bahkan kurang sama sekali. Kuantitas yang banyak memang adalah indikator kekuatan, akan tetapi bisa jadi orientasi yang terlalu berlebihan terhadap kuantitas ini justru akan menyibukan fokustanzhim kepada "angka", sehingga celah-celah yang akan melemahkanharakah banyak bermunculan di sana-sini. 

Memang tawazun atau keseimbangan merupakan hal klasik yang sering kali sulit untuk terwujud. Sebuah harakahyang memiliki kapasitas kualitas kader yang matang dengan baik meskipun secara kuantitas bisa jadi sedikit akan jauh lebih kuat dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai bagian dari pembangunan peradaban. Daya imunitas kader dalam sebuah harakahyang dibangun dengan tingkat kematangan yang kuat, dengan sendirinya akan membuka celah peningkatan secara kuatitas. Hal ini terjadi sebagai dampak dari "matang" tak sekedar kuat secara tsaqafah, akan tetapi juga memiliki kepahaman dan kesadaran untuk kemudian berkerja secara amal jama'i dalam proses rekruitasi terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi hal penting yang juga ia perhitungkan dan ia kerjakan. Berbeda halnya denganharakah yang lebih berorientasi kepada kuantitas. Jumlah kader yang banyak tentu membutuhkan kemampuan manajerial yang juga harus hebat, tapi bukan berarti jumlah kader sebuah harakah yang kuantitasnya lebih sedikit mengabaikan fungsi manajerial ini, akan tetapi memang tingginya kuantitas kader dalam sebuah harakahtentu menuntut qiyadah atau pun para pengambil kebijakan di dalamnya untuk berstrategi lebih dalam. Strategi yang tak sekedar berbicara dalam tataran gerakan di lapangan, akan tetapi juga strategi hebat yang akan mematangkan kader-kader yang ada di dalamnya.

Jika melihat fenomena di lapangan hari ini, umumnya hampir setiapharakah berorientasi kepada pemenuhan target angka yang dicanangkan oleh harakahnya tanpa kemudian menyiapkan satu bentukgrand design yang baik untuk mem-follow up ketercapaian target angka itu. Hanya sedikit sekali harakah yang sudah cukup seimbang dalam penyinergisan antara kuantitas dan kualitas, selebihnya? ya, entahlah. Sebagai penonton dari luar lapangan, kondisi yang terlihat memang begitu adanya. Akibatnya dengan orientasi pemenuhan tuntutan angka yang sudah menjadi keputusan syuro dari internal harakah, menyebabkan kader-kader teknis di lapangan kurang dibekali dengan kemampuan dan kesadaran untuk berinisiatif. Terlebih ketika capaian-capaian dari harakahtersebut sudah disertai dengan "job desk" yang sering kali dilabeli dengan label "keputusan syuro itu tidak bisa diganggu gugat lagi".

Akibatkan kader-kader yang kerdil dalam bertindak dan berpikir bermunculan, yang mengakibatkan daya imunitas mereka dan kemampuan untuk berinisiatif melemah bahkan hilang sama sekali. Di sinilah nampak betul betapa sebuahharakah itu memerlukan manajerial yang dalam dan baik, manajerial yang tak hanya mengejar capaian atau target angka untuk menjaring calon kader-kader baru, dan tak hanya memproyeksikan grand design untuk mem-follow up kader-kader baru itu saja, akan tetapi juga harakah itu hendaknya memperhatikan juga bagaimana mempertahankan kuantitas kader-kader "lama" dengan tetap mempersiapkan sebuah"manhaj" yang betul-betul semakin mematangkan kapasitas kualitas kader yang ada dalam harakahnya. Kondisi ini memang pada akhirnya menempatkan harakah berdiri lebih dari dua kaki, karena memang seperti itulah fungsi harakah dalam ikhtiarnya untuk mengambil peranan strategis bagi pembentukan peradaban yang paripurna dan madani bagi banyak pihak.

Kader-kader lapangan yang dikungkung oleh keputusan syuroyang seolah-olah ditempatkan selalu mutlak adanya, akan membangun sebuah mentalitas figuritas dan ketergantungan yang tak jarang justru semakin membuat kader-kader itu melemah. Seolah-olah ide-ide kreatif yang bermunculan dalam alam sadarnya tak berarti apapun ketika instruksi sudah mengatasnamakansyuro. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan syuro maupun kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya, akan tetapi kekurangmampuan dari beberapa qiyadah atau para pengambil kebijakan tanzhim harakah dalam memformalkan atau membahasakan kebijakan itu kepada kader lapangan(grass root) justru pada akhirnya menjadi sebuah batu sandungan bagi pengembangan kemampuan berinisiatif dan kreatifitas kader. Hal lainnya adalah ketika qiyadah kurang memberikan kesempatan bagi kader untuk menyampaikan terlebih merealisasikan ide-ide yang hadir dalam pikirannya, kondisi ini semakin menempatkan kader pada keadaantsiqoh yang sebetulnya bisa jadi tidak memberikan mereka celah untuk memahami dan belajar akan diri danharakah tempatnya bernaung. Akibatnya pola yang demikian menimbulkan banyak efek yang sering kali tidak terdeteksi oleh tanzhimdalam sebuah harakah. Dua diantaranya adalah, pola ini mengerdilkan kader, di sisi yang lain pola ini pun akan mendorong kader-kader lainnya untuk kemudian menelaahi kembali harakah dimana ia berada, dan biasanya kader yang ada di dalam kondisi ini kemudian seolah-olah ditempatkan sebagai "pemberontak" apakah dari pemikirannya terlebih dari tindak-tanduknya.

Keadaan seperti itu jelas membutuhkan penanganan yang tak bisa dilakoni sambil lalu. Itu adalah keadaan yang sering kali dialami oleh kader "lama" dan keadaan seperti itu memungkinkan penurunan kuantitas kader dalam harakah, bahkan bisa jadi kondisi yang tidak diperbaiki dengan serius ini akan berlaku sama persis terhadap kader baru yang mati-matian dijaring oleh harakah itu sendiri. Di sinilah satu dari sekian banyak titik evaluasi bagi sebuah tanzhim harakah. Manajerial kapasitas kualitas lagi-lagi menjadi perhatian penting, dan proses pencapaian konsistensi kualitas kuantitas ini tak cukup dengan menggantungkan pada sisi-sisi tarbawisaja, akan tetapi juga harus dipertajam dengan pendekatan pemahaman di lapangan, dalam hal ini dalam beramanah dakwah pada wajihah-wajihah maupun lini-lini dakwah lainnya. Pemposisian peranan qiyadah wal jundiyah menjadi aspek penting yang membutuhkan kadar ekstra. Pola komunikasi dan pembahasan terhadap berbagai kebijakan tanzhim bagi mereka, kader-kader di lapangan menjadi perkara penting, pun dalam kadar "demokratisasi" tanzhim, dimana qiyadah idealnya lebih banyak memberikan ruang untuk mendengarkan berbagai ide, kritikan dan lain sebagainya yang dikemukan oleh jundiyahnya di lapangan.

Permasalahan tanzhim harakah pada dasarnya adalah masalah klasik. Seputar masalah pemenuhan kuantitas, peningkatan kapasitas kualitas kader hingga masalah kebijakan syuro dan qiyadah wal jundiyah menjadi PR-PR masa lalu yang fenomenanya selalu terulang dalam setiap masa kepemimpinan. Jika PR-PR masa lalu ini selalu berulang fenomenanya dan lagi-lagi diselesaikan dengan pola penyelesaian yang sama, maka bersiap-siap saja hal itu akan menjadi "bom waktu" bagi stabilitas sebuah harakah dakwah, bahkan "bom waktu" itu akan siap meledak kapan saja, tak hanya menurunkan kapasitas kualitas kader atau pun menurunkan kuantitas kader lama dan kader baru, akan tetapi lebih dari itu, "bom waktu" itu akan memupus bersih cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang paripurna dan madani di masa sekarang terlebih di masa depan.

Wallahualambishawab...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM DOKTRINASI GEREJAWI Opini dan fakta yang bertolak-belakang


Oleh : *Nasrul Mukhsinin


                 Pemeluk agama - agama di Indonesia mengalami intensitas yang sangat tinggi dalam beberapa kurun waktu terakhir. Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya agama dalam kehidupan semakin meningkat, berbanding lurus dengan sosialisasi agama dan pendidikan di masyarakat. Namun, di sisi yang lain timbulnya agama agama yang lain ini memberikan dampak buruk terhadap kerukunan masyarakat. Sikap intoleransi dan skeptis terhadap pemeluk agama yang lain perlahan-lahan mulai menggerogoti nilai-nilai persatuan.
                Dalam kunjungan kami ke Gereja Kristen Indonesia ( selanjutnya disebut GKI) Gejayen beberapa hari yang lalu, kami berkesimpulan bahwa metode penyebaran dakwah teologis mereka menggunakan metode persuasif yang sistematis dan continue. Semuanya tersusun secara rapi dan terencana. Di awali dengan proses pengajaran serta pemahaman Al-kitab yang terbagi dalam beberapa waktu tertentu untuk semua kalangan umat kristiani, kajian teologi kristiani pada kalangan intelektual, serta sosialisasi kepada masyarakat yang berupa profit banking, pelayanan kesehatan, pendidikan serta bimbingan konseling. Pendekatan sosial seperti ini sejatinya telah lahir semenjak 1400-an tahun yang lalu, Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh dakwah yang baik dalam proses penyebaran agama islam. Namun metode metode tersebut mulai d tinggalkan oleh para reformis islam yang paradigma berfikirnya telah tercemar faham radikalisme dan orientalis yang merusak kemurnian ajaran islam. Faham yang dikloning dari faham sekulerisme dan pluralisme ini melahirkan sebuah konsep keislaman terbaru yaitu konsep islam fundamental, islam inklusif, dan islam liberal.
                Di waktu yang sama kami juga menanyakan bagaimanakah saran kalangan gerejawi tentang toleransi umat beragama di Indonesia. Menurut salah satu Pendeta di GKI tersebut yang bernama Hadiyan, proses toleransi kerukunan umat beragama saat ini membutuhkan kesinambungan antara berbagai pihak yang harus dibangun dari pondasi awal di masyarakat tanpa ada kepentingan dan intervensi tertentu. Namun disinilah munculnya pertanyaan praktis dalam benak kami, saat ini masih adakah toleransi bagi umat islam? Karna pada realitanya di dalam masyarakat saat ini kita tidak pernah mendapati toleransi umat lain terhadap masyarakat muslim. Kita ambil fakta real yang sedang hangat seperti kristenisasi, pemberian label “ekstrim” pada ormas-ormas islam ( FPI, FUI, FAPD, dll), pelarangan dalam menggunakan jilbab, dan lain sebagainya. Selain itu, menurut saya nilai toleransi umat beragama modern ini lebih terkesan sebagai politisasi oknum untuk kepentingan golongan tertentu dan juga sebagai cara. Toleransi di negeri ini hanyalah selogan yang digunakan untuk meraih profit yang besar.
                Masalah toleransi menjadi pembicaraan yang hangat akhir-akhir ini, lantas bagaimana sikap kita.? apakah islam mengajarkan toleransi.? Ya, Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi itu membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi itu tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam. Rasul juga menjenguk non-Muslim tetangga beliau yang sedang sakit. Rasul juga bersikap dan berbuat baik kepada non-Muslim. Toleransi semacam ini telah memberikan contoh bagi masyarakat lain bahwa islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kedamaian. Namun, toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam atau bukan juga toleransi yang berakibat perusakan syariah dan akidah ketauhidan.

                Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Muncullah sikap toleran yang kebablasan, khususnya pada sebagian Muslim. Sikap toleran yang kebablasan itu didorong agar dilakukan oleh seluruh Muslim negeri ini. Diserukanlah bahwa sikap bertoleransi itu harus diwujudkan dengan memberikan selamat, bahkan menghadiri hari raya non-Muslim. Yang lebih parah, baru dianggap toleran jika Muslim melepaskan keyakinannya yang tidak sesuai dengan keyakinan orang lain. Misalnya, keyakinan bahwa wanita Muslimah haram menikah dengan pria non-Muslim. Mempertahankan keyakinan demikian dianggap tidak toleran.
                Alhasil, toleransi saat ini digunakan sebagai senjata oleh kalangan liberal dan non-Muslim untuk menyasar Islam dan umatnya. Sedikit-sedikit mereka menyebut kaum Muslim tak toleran jika ada masalah yang menyangkut komunitas non Muslim—meski tak jarang sebenarnya itu menyangkut aturan negara. Masalah toleransi yang tidak difahami dengan benar oleh masyarakat menjadikan umat islam Indonesia kekinian mengalami masa masa yang berat. Islam mulai terpecah belah oleh kediktatoran nilai demokrasi dan undang-undang. Umat islam dianggap intoleransi terhadap agama lain. Meskipun umat muslim Indonesia mendukung perdamaian,tapi kenapa umat islam harus menggunakan atribut agama lain pada hari-hari besarnya? Apakah ini suatu keadilan atas nama toleransi?
                Peristiwa seperti ini dijadikan momentum penting menanamkan ide sinkretisme dan pluralisme. Melalui upaya ini, akidah umat Islam secara pelan-pelan terus tergerus. Ide pluralisme ini mengajarkan bahwa semua agama sama. Ajaran ini mengajak umat Islam untuk menganggap agama lain juga benar. Pemahaman toleransi yang salah dapat menyebabkan pluralisme agama. Pluralisme agama adalah salah satu agenda liberalisasi pemikiran. Dalam pandangan manusia pluralis, semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Salah satu cara yang mereka tempuh untuk tujuan tersebut adalah membesar-besarkan masalah toleransi, seakan-akan ia hal baru dalam Islam. Padahal jika kandungannya bukan ide-ide sekular-pluralis, Islam sudah matang bertoleransi sejak ia lahir. Sementara jika maknanya adalah relativisme, maka pluralisme tidak lebih dari kepanjangan tangan dari postmodernisme.
                Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang dengan rekayasa semacam itu. Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan, sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?
                Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa. Khusus dalam konteks Natal, itu berarti umat Muslim didorong untuk menerima kebenaran ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus. Jika ide pluralisme itu berhasil ditanamkan di tubuh umat Islam, hal-hal yang selama ini sensitif terkait masalah agama seperti pemurtadan, nikah beda agama dan sebagainya akan makin mulus berjalan. Lebih jauh, semangat umat Islam untuk memperjuangkan syariah agar dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat akan makin melemah. Di dalamnya juga ada propaganda sinkretisme, yakni pencampuradukan ajaran agama-agama. Dalam konteks Natal Bersama dan Tahun Baru, sinkretisme tampak dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, juga batasan halal dan haram, sudah sangat jelas.
                Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik pencitraan, bahwa islam dicitrakan sebagai sebuah agama yang tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah mereka adalah umat yang tertindas dan teraniaya.  Adanya kasus-kasus tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga islam dicitrakan sebagai agama yang tidak menghargai beragama.
               
                Toleransi umat Islam dinegeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan
                Hemat saya, ketidak-selarasan dan ketidak-seimbangan yang saya simpulkan dari hasil diskusi  dengan pendeta GKI Gejayen ini dengan realita membuat saya menyimpulkan bahwa toleransi yang kini ada hanyalah sebatas kemunafikan serta fatamorgana yang tampak nyata tapi penuh politisasi demi kepentingan oknum dan golongan tertentu. Islam mengajarkan toleransi, namun jangan sampai ini merusak keimanan. Prinsip islam dalam toleransi antar umat adalah “agama yang paling benar adalah agama islam”. Dan saya menyarankan kepada rekan-rekan pembaca agar tidak salah dalam mengartikan toleransi yang berujung pada gagasan sinkretisme dan pluralisme agama. Karna ide pluralisme dan sinkretisme merupakan pembantahan terhadap konsep ketuhanan Allah SWT yang absolut dan mutlak, dan tentu saja berujung kepada kemusyrikan.
Wallahu a’lam bi showab.

















*) Mahasiswa semester atas jurusan Bahasa dan Sastra Arab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mahasiswa dalam tantangan




By : Nasrul mukhsinin | 09 Maret 2014

 Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Mahasiswa merupakan kaum intelektual dan akademisi. Dalam sejarah perkembangannya, mahasiswa berperan aktif dalam pembangunan suatu Negara khususnya bagi bangsa Indonesia. Mulai dari masa perjuangan pasca kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, reformasi hingga saat ini. Masih lekat ingatan kita bagaimana rezim orde baru yang sangat kuat tatkala dipimpin oleh Presiden Soeharto  runtuh dalam gerakan mahasiswa. Itulah mahasiswa dengan bakat  keistimewaan dan intelektualitasnya.
Mahasiswa sebenarnya hanyalah sebutan akademis untuk siswa atau pelajar yang telah sampai pada tingkat pendidikan pergururan tinggi atau institusi. Dalam realitanya pendeskripsian kata mahasiswa lebih luas dari skedar belajar di perguruan tinggi atau institusi. Pada hakikatnya, mahasiswa tidak hanya sekedar kuliah pulang, kuliah pulang saja. Tetapi harus memiliki kesadaran untuk terus menggali informasi, ilmu pengetahuan , berfikir kritis dan logis, berkemauan tinggi , bekerja keras dan juga memiliki kepedulian yang kuat terhadap polemik yang ada di dalam masyarakat dan negara.
Menyandang label mahasiswa memberikan suatu kebanggaan sekaligus tantangan tersendiri. Betapa tidak, menyandang status sebagai mahasiswa memiliki ekspetasi dan tanggung jawab yang sangat besar. Selain berprofesi sebagai pelajar mahasiswa juga memiliki peran peran yang sakral dalam kehidupan social. Karna sejatinya mahasiswa merupakan agen perubahan dan social control dalam kehidupan dimasyarakat. Selain itu, mahasiswa juga sebagai penyambung lidah rakyat kepada para “wakil”nya di pusat. Secara garis besar peran mahasiswa mencakup akan 3 hal yaitu peran moral, peran social dan juga peran intelektual.
Peran moral sebagai perbaikan akhlak budi pekerti masyarakat yang sinergi dengan peranan sosial mahasiswa sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab mereka pada pembangunan tatanan sosial di masyarakat. begitu pula aktif dalam peningkatan intelektual generasi generasi muda Indonesia demi mewujudkan indonesia bebas dari penjajahan buta aksara dan kebodohan.
Mari kita sedikit memutar masa lalu. Mungkin masih lekat dalam benak kita semua, bagaimana kediktatoran masa orde baru yang kuat nan kokoh  diruntuhkan dengan kekuatan mahasiswa. Begitu besar power yang dimiliki mahasiswa dalam pergerakannya. Selanjutnya pada era reformasi mahasiswa memiliki andil yang sangat besar, sejak awal tegaknya reformasi hingga pengawalan terhadap dalam masyarkat akibat reformasi . itulah sedikit kutipan tinta emas yang telah ditorahkan mahasiswa dalam pembangunan negara Indonesia.
Namun realita yang terjadi kini berbanding terbalik, prestasi gerakan mahasiswa terus menurun seiring perkembangan zaman. Mahasiswa mulai kehilangan kepribadian dan semangatnya. Seringkali kita temui banyak mahasiswa yang kuliah hanya sekedar kuliah demi selembar ijazah untuk memuluskan masa depan mereka. Mereka menolak ingat akan peran dan tanggung jawab yang melekat pada mahasiswa. Degradasi moral, krisis eksistensi dan mental, ambivalensi pada lingkungan, serta orientasi yang kuat pada gaya hedonisme yang kental membuat mahasiswa mulai lupa akan jati diri. Kondisi ini sangatlah memprihatinkan , mengingat peran dan fungsi haqiqi dari mahasiswa itu sendiri.
Salah satu redupnya prestasi dan gerakan mahasiswa saat ini yakni karna mahasiswa tidak lagi mampu mempertahankan momentum yang tepat untuk bergerak. Migrasi ideologi yang tumpang tindih menyebabkan mahasiswa saling memperjuangkan ideologi nya masing masing dan sulit bersatu. Selain faktor diatas ada faktor dominan yang mempengaruhi pergerakan  mahasiswa,yakni gencarnya arus globalisasi di Indonesia. Demi menyikapi maslah ini, hendaknya mahasiswa berhati hati dalam menyikapi agar tidak terbawa dalam arus globalisasi yang membawa dampak negative yang sangat besar dalam masyarakat.
Arus globalisasi membawa dampak pesatnya perkembangan informasi dan teknologi yang secara tak langsung membawa efek buruk dalam kehidupan. Selain itu derasnya perkembangan ini menjadi embrio lahirnya ggaya kehidupan manusia yang mementingkan kemewahan dunia yang memabukkan. Gaya ini telah menjadi gerakan tersendiri dalam kehidupan yang biasa disebut sebagai gerakan “Hedonisme”. Dan ini merupakan kabar buruk bagi mahasiswa karena ketika gaya kehidupan yang hedonisme mulai menyeruak masuk kedalam pribadinya akan membuat jiwa nasionalisme luntur, sehingga menjadikan mahasiswa apatis terhadap kepentingan negara dan masyarakat.
Gaya kehidupan hedonisme ini juga merupakan cikal bakal lahirnya virus baru bagi mahasiswa yaitu faham liberalisme. Liberalisme merupakan kelanjutan dari virus virus yang berkembang akibat globalisasi.  Faham ini berpotensi mengkaburkan arah eksistensi mahasiswa dan menjerumuskanya pada kehidupan yang bebas tanpa aturan.  Dilain sisi liberalisme membuat kaum kurang mampu semakin termarjinalkan, carut marutnya hukum, hingga membuat kriminalisme di masyarakat semakin meningkat.
Pergerakan mahasiswa saat ini telah mencapai keadaan yang sangat kritis dan mengkhawatirkan. Sudah saatnya mahasiswa memutar haluan dan mencari jalan keluar dari semua dilematika yang hadir demi melanjutkan kembali eksistensinya dan mewujudkan cita cita para pejuang bangsa. Rekontruksi ini jangan sampai di tunda tunda lagi demi kemaslahatan bersama. Dengan ini semua diharapkan akan “menghidupkan” kembali jiwa mahasiswa yang telah lama mati suri dan kehilangan jati diri. Mari wujudkan kembali mahasiswa yang berkualitas, berintelektual cerdas yang siap menjadi generasi emas dalam membangun negara dan agama.  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Materi mata kuliah Qiroa'ah II

PELAJARAN 5


موعظة المؤمنين من إحياء علوم الدين
وقال أبو الدرداء: "لأن أتعلّم مسألة أحبّ إليّ من قيام ليلة"، وقال أيضا: "العالم والمتعلّم شريكان في الخير وسائر الناس همج لا خير فيهم". وقال الشافعيّ رضي الله عنه: "طلب العلم أفضل من النافلة". وقال فتح الموصليّ رحمه الله: "أليس المريض إذا منع الطعام والشراب والدواء يموت؟"، قالوا: "بلى"، قال: "كذلك القلب، إذا منع عنه الحكمة والعلم ثلاثة أيام يموت". ولقد صدق، فإنّ غذاء القلب العلم والحكمة، وبهما حياته، كما أنّ غذاء الجسد الطعام، ومن فقد العلم فقلبه مريض، وموته لازم، ولكنّه لا يشعر به، إذ حبّ الدنيا وشغله بها أبطل إحساسه. فنعوذ بالله من يوم كشف الغطاء، فإنّ الناس نيام، فإذا ماتوا انتبهوا. وقال ابن مسعود رضي الله عنه: "عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه موت رواته، وإنّ أحدا لم يولد عالما، وإنّما العلم بالتعلّم".

PELAJARAN 4

الورقات لإمام الحرمين الجوينيّ
والتقليد قبول قول القائل بلا حجّة، فعلى هذا قبول قول النبيّ صلّى الله عليه وآله وسلّم يسمّى تقليدا. ومنهم من قال: التقليد قبول قول القائل وأنت لا تدري من أين قاله، فإن قلنا: إنّ النبيّ صلّى الله عليه وآله وسلّم كان يقول بالقياس، فيجوز أن يسمّى قبول قوله تقليدا. وأمّا الاجتهاد فهو بذل الوسع في بلوغ الغرض، فالمجتهد إن كان كامل الآلة في الاجتهاد، فإن اجتهد في الفروع فأصاب فله أجران، وإن اجتهد فيها وأخطأ فله أجر.

PELAJARAN 3

شرح الأربعين النووية
[عن أبي رقيّة تميم بن أوس الداريّ رضي الله تعالى عنه، أنّ النبيّ صلّى الله عليه وآله وسلّم قال: "الدين النصيحة"، قلنا: "لمن؟"، قال: "لله ولكتابه ولرسوله ولأئمّة المسلمين وعامّتهم"]. رواه مسلم.
ومعنى قوله: "الدين النصيحة"، أي عماد الدين وقوامه النصيحة، كقوله: "الحجّ عرفة"، أي عماده ومعظمه. وأمّا تفسير النصيحة وأنواعها فقال الخطابيّ وغيره من العلماء: "النصيحة لله تعالى معناها منصرف إلى الإيمان به، ونفي الشرك عنه، وترك الإلحاد في صفاته وأسمائه، ووصفه بصفات الكمال والجلال كلّها، وتنزيهه عن جميع النقائص، والقيام بطاعته واجتناب معصيته، والحبّ فيه والبغض فيه، وجهاد من كفر به، والاعتراف بنعمته
والشكر عليها، والإخلاص في جميع الأمور، والدعاء إلى جميع الأوصاف المذكورة والحثّ عليها، والتلطّف بالناس". قال الخطابيّ: "وحقيقة هذه الأوصاف راجعة إلى العبد في نصحه نفسه. فإنّ الله سبحانه غنيّ عن نصح الناصح".

TEKS PELAJARAN 2

الأذكار للنوويّ
فصل: اعلم أنّ الحمد مستحبّ في ابتداء كلّ أمر ذي بال، كما سبق، كما يستحبّ بعد الفراغ من الطعام والشراب والعطاس، وعند خطبة المرأة -وهو طلب زواجها- وكذا عند عقد النكاح، وبعد الخروج من الخلاء. وسيأتي بيان هذه المواضع في أبوابها بدلائلها، وتفريع مسائلها إن شاء الله تعالى. وقد سبق بيان ما يقال بعد الخروج من الخلاء في بابه، ويستحبّ في ابتداء الكتب المصنّفة، كما سبق، وكذا في ابتداء دروس المدرّسين، وقراءة الطالبين، سواء قرأ حديثا أو فقها أو غيرهما. وأحسن العبارات في ذلك: الحمد لله ربّ العالمين.
فصل: يستحبّ أن يختم دعاءه بالحمد لله ربّ العالمين، وكذلك يبتدئه بالحمد لله، قال الله تعالى: {آخر دعواهم أن الحمد لله ربّ العالمين} [يونس: 10]. وأمّا ابتداء الدعاء بحمد الله وتمجيده فسيأتي دليله من الحديث الصحيح قريبا في كتاب الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، إن شاء الله تعالى.

teks Pelajaran 1
تفسير البيضاوي
{بسم الله الرحمن الرحيم} من الفاتحة ومن كلّ سورة. وعليه قرّاء مكّة والكوفة وفقهاؤهما، وابن المبارك -رحمه الله تعالى- والشافعيّ. وخالفهم قرّاء المدينة والبصرة والشام، وفقهاؤها، ومالك، والأوزاعيّ. ولم ينصّ أبو حنيفة -رحمه الله تعالى- فيه بشيء، فظنّ أنّها ليست من السورة عنده. وسئل محمد بن الحسن عنها فقال: "ما بين الدفّتين كلام الله تعالى". ولنا أحاديث كثيرة، منها ما روى أبو هريرة رضي الله تعالى عنه، أنّه -عليه الصلاة والسلام- قال: "فاتحة الكتاب سبع آيات، أولاهنّ بسم الله الرحمن الرحيم"، وقول أمّ سلمة رضي الله عنها: "قرأ رسول الله -صلى الله عليه وسلم- الفاتحة وعدّ «بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين» آية". ومن أجلهما اختلف في أنّها آية برأسها أم بما بعدها، والإجماع على أنّ ما بين الدفّتين كلام الله -سبحانه وتعالى-، والوفاق على إثباتها في المصاحف مع المبالغة في تجريد القرآن حتّى لم تكتب "آمين".

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan


By : Nasrul Mukhsinin


Biografi penulis
Judul                : Tuhan yang disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan
Pengarang       : Jalalludin Rahmat


            Dalam jurnal ini, penulis berusaha mengungkap  akan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan.  Penulis mengutip cerita dari  Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian bukan pemikiran, melalui cinta  bukan kata, melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan,  mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai sebuah pengetahuan yang penuh dengan keraguan dan kontroversi. Sedang kan, melalui mujahadah dan amal kita dapat menyaksikan tuhan dengan haqq ul-yaqiin.
            Pada dasarnya pengetahuan yang menempati tingkat teratas dari segala pengetahuan adalah taqwa. Karna tidak ada yang lebih baik dari pada nilai taqwa itu sendiri. Dari keseluruhan yang mencoba mendefinisikan tentang tuhan, termasuk ahli filsafat, ahli kalam dan lain sebagainya, mereka tak akan mengetahui tentang tuhan itu sendiri sebelum memiliki dan mengerti akan taqwa itu sendiri.
            Jurnal ini sangat sukar difahami karna penggunaan kata dan susunannya yang ‘’ribet’’ . Sehingga bagi masyarakat awam atau kaum pelajar sangat susah untuk mengerti maksud dan tujuan dari jurnal tersebut. Dan sasaran yang   sangat tepat adalah kaum mahasiswa dan cendikiawan-cendikiawan muslim yang lainnya. Sebagai sarana untuk berkembang.
            Akan lebih baik, jika jurnal ini menambahkan tentang solusi dan cara agar masyarakat dan kaum muslimin lebih cerdas dalam memahami akan konsep ketuhanan  dan cara mengetahui akan tuhan itu sendiri. 

Dalam jurnal yang berjudul “Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan” yang dikarang oleh Jalalludin Rahmat, dijelaskan bahwa keberadaan tuhan tidak mampu didiskripsikan atau didiefinisikan. Jurnal tersebut berusaha mengupas tentang kesalahan dan kekeliruan pemikiran manusia dalam mendefinisikan Tuhan.
            Beliau mengutip cerita karya Jalal Al-dien Arrumi yang berisi keritikan halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Menurut Jalal al-dien Arumi dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas dan karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas. Intelektual atau pemikiran akan keberadaan tuhan, hanya akan memberikan batasan dari keberadaan tuhan itu sendiri.
 Ibn ‘arabi yang juga merupakan salah satu tokoh filosofi muslim mengungkapkan tentang kekeliruan pengertian dan pendeskripsian tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli kalam. Menurut beliau, pemikiran akal tentang esensi tuhan tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sesungguhnya akan tuhan, melainkan pemikiran tersebut hanya akan menghasilkan sebuah tipuan, khayalan dan pertentangan. Dalam tulisannya beliau menyatakan bahwa jika Tuhan berkehendak untuk memberikan pengetahuan tentang diri-Nya, maka kita harus menghadirkan hati dan akal kita akan kebenaran tersebut. Dengan kata lain, kita harus mempersiapkan akal dan diri kita untuk menerimanya. Karna itulah yang akan menjadi cahaya dan penyelaras dalam hidup serta menjauhkan diri dari hasil pemikiran yang syubhat dan menjurus kepada keragu-raguan.
Kritikan yang diberikan oleh Ibn ‘Arabi bukanlah kritakan terhadap intelek pada pengetahuan akal, namun pada kekuatan daya pikir yang merupakan kekuasaan dari akal. Dan  pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.
            Ringkasnya.Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.Dan kita tidak dapat mendefinisikan tuhan karana keterbatasan pikiran dan pengetahuan kita. Namun kita hanya mampu menyaksikan tuhan dengan pengetahuan sejati yang diperoleh melalui hati, dan itu adalah taqwa. Taqwa memiliki tingkat pencapaian pengetahuan paling tinggi, dan memiliki otoritasnya berada di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang membuat keputusan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

من أضرار التدخين


انتشر التدخين، وكثرت نسبة المدخنين في هذا العصر، مما ينذر بازدياد المشكلات الصحية بينهم. فقد أظهرت دراسات كثيرة أن التدخين يعرض الصحة لكثير من الأخطار، وأنه سبب لكثير من الأمراض، مثل: أمراض القلب، وسرطان الرئة، والالتهاب الرئوي، كما أنه يسبب الشيخوخة، ويزيد نسبة الوفيات.
صحيح أن كل شيء بقضاء الله، وأن الموت والحياة والمرض والصحة، كلها بيد الله، ولكن يجب أن نتذكر دائما، أن الله سبحانه وتعالى يقول: (ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة). ويقول: (ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما). والتدخين قتل للنفس، وانتحار بطيء، كما أنه ضرر بإجماع الأطباء والعقلاء. والرسول - صلى الله عليه وسلم - يقول: "لا ضرر ولا ضرار"، وقد لوحظ أن نسبة وفاة المدخنين تزداد بازدياد استهلاك السجائر.
طبقا لتقرير منظمة الصحة العالمية، فإن التدخين أخطر وباء عرفه الجنس البشري، والوفيات الناتجة عنه تعد أكثر الوفيات التي عرفها تاريخ الأوبئة وخصوصا في الدول الفقيرة، حيث تنشر شركات التبغ دعاياتها، وتبيع أسوأ أنواع السجائر وأخطرها.
وفي كل هذا دليل على خطر التدخين على البشرية، فهل يدرك صغار الشباب - بصفة خاصة - ما ينتظرهم من أخطار وأضرار، إذا مارسوا التدخين، وأقدموا عليه؟!
نتيجة لكل ما سبق، فإن المدخن يقتل نفسه بنفسه، كما ثبت أن ضرر التدخين يتعدى المدخنين أنفسهم إلى بقية أفراد المجتمع من المجاورين للمدخنين، فالتدخين ضرر متعد، لأن الدخان المتصاعد من أفواه المدخنين، يستنشقه من حولهم دوان اختيار منهم. والحرية الشخصية هنا تتعارض مع حقوق المجتمع. وكم من حريق شب بسبب المدخنين، وكانت أضراره جسيمة.
ينفق المدخنون أموالا كثيرة على السجائر، ولا يأخذون مقابل ذلك إلا ضررا وخسارة. وقد وجد أن ما ينفقه 60 مليون مدخن في أمريكا، يكلف 4 مليارات دولار في العام. وتزداد المصيبة عندما يكون المدخنون من الأسر الفقيرة، التي تستهلك السجائر أكثر دخلها، فتترك هذه الأسر الأشياء الضرورية، وتشتري السجائر، وفي هذا إضاعة للمال، وقد نهى الإسلام الإنسان عن إضاعة المال، فيما لا فائدة فيه.
لكل هذه الأسباب، وغيرها، جاء الدين الإسلامي بالنهي عن التدخين وتحريمه، لأنه بهذه الصفة لا يكون من الطيبات التي أحلت لبني آدم، بل هو من الخبائث التي حرمت عليهم. قال الله تعالى: (ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث).



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Indonesia lebih kuat, tanpa JIL . . . !



sejumlah orang bersepakat mengadakan demonstrasi di bundaran HI, Jakarta Pusat. Demo itu bertemakan (dan menuntut) pembubaran FPI (Front Pembela Islam) yang selama ini dinilai kerap melakukan aksi kekerasan atas nama agama. Aksi-aksi FPI tersebut dianggap telah menimbulkan keresahan dan mengancam kebebasan. Di lain pihak, seolah-olah aparat keamanan dan pemerintah mendiamkan saja aksi-aksi tersebut. Menurut salah satu penggagasnya, Mariana Amirudin, demo ini murni berasal dari kalangan pegiat media sosial, khususnya di jejaring sosial twitter. Di twitter, orang-orang tersebut membuat hashtag #IndonesiaTanpaFPI. Berbagai twit yang bertemakan anti FPI muncul. Mulai dari kritikan ilmiah obyektif hingga caci maki. Mulai dari bahasa yang sopan, hingga bahasa yang kasar. Mulai dari sekadar kritik terhadap organisasi FPI dan pemerintah, hingga memaki-maki ajaran Islam (yang dianggap sebagai landasan aksi-aksi FPI).

Entah siapa yang mulai, bersamaan dengan munculnya hashtag gerakan #IndonesiaTanpaFPI, muncul pula hashtag #IndonesiaTanpaJIL (Jaringan Islam Liberal). Seolah-olah gerakan ini adalah respon atau jawaban dari #IndonesiaTanpaFPI. Uniknya, ketika gerakan #IndonesiaTanpaFPI sudah mulai surut dari perbincangan di twitter, justru #IndonesiaTanpaJIL makin “hot”. Ada yang membuat fan page-nya di Facebook dan membuat akun twitter @TanpaJIL. Bahkan aktor dan presenter Fauzi Baadilla membuat rekaman video singkat yang di-up load ke YouTube mengenai dukungannya pada gerakan #IndonesiaTanpaJIL ini ( youtu.be/lMbeTlMyNYk ).

Berbagai reaksi bermunculan. Yang pro dan yang kontra. Yang kontra, ada yang “menuduh” (dan mencoba mengesankan bahwa) gerakan #IndonesiaTanpaJIL disponsori oleh FPI dan disusupi kepentingan politik praktis parpol tertentu. Sementara yang pro, berdatangan dari berbagai latar belakang, mulai dari yang anti parpol hingga yang tidak suka dengan FPI.

Gerakan #IndonesiaTanpaJIL adalah gerakan moral dari sejumlah pegiat media sosial (blog, Facebook dan twitter) yang resah dengan sepak terjang JIL selama ini. Aktivis JIL seringkali membuat opini yang menggugat ajaran Islam. Hal-hal yang merupakan urusan fondasi dalam Islam, justru dipertanyakan dan dikritik, dengan dalih kebebasan berpikir ilmiah dan berpendapat. Padahal seringkali opini aktivis JIL itu jauh dari kaidah-kaidah ilmiah. Seperti menggugat ibadah qurban, mempertanyakan kenabian Muhammad SAW, mengolok-ngolok tauhid, mengejek jilbab, dan lain-lain. Hal ini terkadang dibalut dengan retorika yang dicoba dikesankan ilmiah, dengan harapan para followers atau fans atau khalayak akan percaya dan mendukung opini mereka. Bagi orang yang kurang ilmu dan tidak kritis terhadap mereka, tentu akan sangat mudah menerima begitu saja opini yang dilontarkan. Inilah yang dirasa meresahkan. Maka muncullah #IndonesiaTanpaJIL.

Dapat disimpulkan bahwa gerakan #IndonesiaTanpaJIL adalah:

Gerakan moral
Anti kekerasan
Tidak ditunggangi kepentingan politik praktis parpol tertentu
Terbuka bagi siapa saja
Membuat dan menyebarkan opini yang merupakan counter attack dari opini aktivis JIL yang membingungkan umat.
Tidak untuk membela ormas tertentu
Jika pihak yang pro JIL meminta kaum yang kontra JIL agar “melawan” JIL dengan opini/ide, maka inilah “perlawanan” itu:
 #IndonesiaTanpaJIL! 

Mari bergabung!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS