about

Allah tujuan kami, Rasul uswah kami, Alqur'an pedoman kami, tegaknya syariat Islam adalah cita cita kami
RSS

Peran Pemuda Muslim di Era Modern



Dunia saat ini di ambang kehancuran. Serangkaian gejala yang terjadi di planet ini mengarah kepada kerusakan kehidupan. Tengoklah pada gejala semakin memanasnya bumi yang akan berdampak luas terhadap pola kehidupan di darat, udara maupun laut, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, politik manusia, yang bila tidak diantisipasi dengan baik akan mengundang kekacauan. Kerusakan-kerusakan tersebut disebabkan oleh proses industrialisasi yang gencar dilaksanakan sebagai konsekuensi diterapkannya model pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi semata. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia berhasil menciptakan alat pemusnah sesamanya yang lebih ampuh.
Disamping itu, belakangan ini kita sering tercengang oleh tingkah laku para remaja atau pelajar, terutamsa di kota-kota besar. Kenakalan yang remaja dan pelajar lakukan tidak layak lagi disebut kenakalan, lebih tepat dikatakan “kejahatan remaja”. Bagaimana tidak, kejahatan yang mereka lakukan tidak berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa, bahkan dalam beberapa kasus, mereka lebih sadis dalam melakukan tindakan kejahatan. Sudah tentu kerugian moril dan materiil jelas ada. Dan krisis moral yang ada di kalangan remaja tidak lain disebabkan oleh krisis keagamaan. Rendahnya pemahaman dan kesadaran beragama membuat manusia tidak punya kontrol dan kendali yang akan menuntun amal dan moral dalam dirinya. Dengan demikian, untuk dapat mengembalikan moralitas remaja kita sebagai ummat muslim harus mengembalikan atau menumbuhkan nilai-nilai keagamaan dalam diri mereka.
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (fiiakhsani takwiim). Juga manusia telah dimuliakan dengan kelebihan-kelebihan sebagaimana penegasan Allah dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70. Namun Allah juga mengingatkan adanya sifat-sifat buruk yang melekat pada manusia yang dapat menghantarkan kepada jurang kehinaaan. Al-Qur’an surat at-Tiin ayat 5 mengatakan hal itu.
Kecenderungan manusia untuk berbuat jelek karena manusia memiliki nafsu di-samping akal dan hati nurani. Hawa nafsu adalah potensi yang mempunyai sifat menyukai hal-hal yang enak, nikmat, lezat, mudah, baik, indah, tidak pernah puas dan mempunyai kecenderungan yang jelek apabila tidak dituntun rahmat Allah (QS. Yusuf: 53). Sementara itu akal merupakan potensi yang mempunyai kemampuan untuk menangkap hukum-hukum alam atau sunatullah, memahami masalah dan sekaligus mampu memecahkan masalah kehidupan. Sedang hati nurani merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berlaku baik, jujur, adil, sayang kepada sesama dan taat kepada Allah Sang Pencipta.
Di samping itu Allah menurunkan wahyu yang berfungsi untuk memberi petunjuk, informasi tentang sesuatu yang tidak mungkin dijangkau akal, juga tentang Tuhan. Hati nurani cenderung untuk menerima kebenaran wahyu sebab fitrah manusia adalah beragama (QS. Ar-Ruum: 30), sedang hawa nafsu bila tidak mendapat rahmat Allah cenderung menolak.
Akal akan menunjukkan jalan yang diinginkan nafsu atau hati nurani. Bila hati nurani yang menang dalam pertarungan (tarik menarik) dengan nafsu maka akal akan menunjukkan bagaimana mencapainya, begitu pula sebaliknya bila hawa nafsu yang menang. Dengan akal manusia bisa belajar. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 Allah menerangkan hal ini. Jelaslah manusia bisa memahami sunatullah untuk kemudian merumuskannya menjadi ilmu pengetahuan. Dengan akalnya manusia juga mampu berfikir, imajinatif, sehingga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya ilmu pengetahuan tersebut diterapkan dalam kehidupan dalam bentuk teknologi. 

Dalam hal ini, peran muslim terutama para pemuda muslim sangat diperlukan untuk menentukan jadi apa dan mau seperti apa dunia ini kelak. “Youth is the strongest”. Pemuda adalah kekuatan, vitalitas dan energik. Mungkin kalimat itulah yang pantas, pas, dan cocok untuk menggambarkan akan besarnya potensi yang dimiliki setiap pemuda. Masa muda laksana matahari yang terbit di pagi hari kekuatan pancarannya menyinari jagad raya ini, tak seperti ketika terbenamnya di senja hari. Allah SWT pernah menggambarkan masa muda itu adalah masa diantara dua kelemahan. Sebagaimana firman-Nya:
 Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikanmu sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan kamu sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (ar-Rum: 54).

Secara eksplisit ayat ini menjelaskan tiga fase utama dalam kehidupan manusia, yaitu masa kanak-kanak, masa muda dan masa tua. Untuk fase pertama dan terakhir dalam kehidupan manusia ditandai dengan kelemahan dan ketergantungan. Sedang fase kedua dalam kehidupan manusia ditandai dengan kekuatan, keperkasaan dan semangat tinggi.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa muda secara universal baik fisik, mental, intelektual dan potensialitasnya mencapai tingkat perkembangan dan pemanfaatan yang optimum. Masa muda adalah masa ketika fikiran menunjukkan kapasitas dan kapabilitas intensif dalam bentuk prima. Bahkan Islam-pun memberikan porsi dan catatan tersendiri akan eksistensi pemuda dalam kehidupannya. Rasulullah SAW telah memberi semacam nilai tambah dan penghargaan pada makna dan nilai pemuda. Hal itu tercermin dalam sabda beliau yang meminta kepada pemuda untuk memanfaatkan potensi yang ia miliki untuk memperjuangkan agama Allah.
Maka dari itu, Islam memerintahkan kepada ummatnya , khususnya para pemuda untuk benar-benar memanfaatkan dan menggunakan nikmat yang Allah SWT berikan itu (berupa potensi kekuatan) untuk suatu tujuan mulia, yaitu menegakkan panji-panji Islam di muka bumi ini. “Mengapa mesti pemuda yang diserahi peran untuk menimbulkan atau me-munculkan kembali peradaban Islam di tengah-tengah peradaban modern yang mengkha-watirkan ini?”. Sebab pemudalah yang akan melanjutkan estafet perjuangan generasi tua.
Tantangan umum bagi pemuda Muslim di dunia modern adalah “membangkitkan kembali Peradaban Islam”. “Kebangkitan Peradaban Islam” dapat disederhanakan dengan arti timbulnya kembali nilai-nilai Islam dan mewarnai dalam kehidupan ummat di dunia. Memang, tujuh abad pertama kaum muslimin pernah mencapai masa keemasan dan tujuh abad berikutnya mengalami kemunduran. Inilah tugas pemuda muslim, “bagaimana peradaban dan panji-panji Islam itu seharusnya dibangkitkan dan diaktualisasikan atau bagaimana seharusnya merealisasikan kalimat al-Islaamu Ya’lu Wala Yu’la ‘Allah”?.
Peradaban dan panji-panji Islam akan bangkit tergantung kepada revolusi intelektual yang memerlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan kepenting-an dunia dan akhirat. Kemudian menyusun strategi dan sasaran yang tepat. Untuk meng-aktualisasikan kebangkitan Islam, pemuda Muslim harus menyusun skala prioritas yang merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Shahihah. Ijtihad dan jihad adalah dua poin yang tepat dalam konteks ini. Peran lain yang harus dilakukan oleh pemuda Muslim adalah untuk memberikan warna (shibghah) Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pemuda Muslim harus mempunyai wawasan yang tinggi dan baik-baik tentang keislaman maupun ilmu penunjang lainnya. Pemuda Muslim harus merancang suatu landasan yang berwawasan ke depan yang akan memberikan tempat berpijak demi kemajuan dan peradaban Islam masa sekarang dan mendatang. Tak ada disiplin ilmu pengetahuan yang paling baik dan sempurna kecuali Islam itu sendiri.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dari peran dan tugas tersebut adalah mengetahui akar penyebab kemunduran ummat Islam. Kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan merupakan akar penyebab timbulnya permasalahan tersebut. Jadi, dengan kata lain, penguasaan ilmu pengetahuan dan islamisasi ilmu pengetahuan merupakan prasyarat untuk melanjutkan rekonstruksi Peradaban Islam itu. Disamping kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan, ada satu hal yang sangat fundamental tentang penyebab kemunduran Peradaban Islam di era modern ini, yaitu mereka (kaum Muslimin) telah meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam bahasa sederhananya, kaum Muslimin tidak lagi menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, tugas pemuda dalam membangkitkan kembali peradaban Islam bukanlah tugas yang mudah. Mereka harus siap untuk tempur dalam menjawab tantangan-tantangan yang ada. Tantangan-tantangan itu beragam. Kita sebut saja sebagai tantangan ideologi, tantangan modernitas, tantangan invasi kebudayaan dan masih banyak tantangan lainnya. Semua tantangan-tantangan itu takkan pernah terjawab oleh pemuda Muslim kecuali mereka yang mempunyai sifat-sifat berikut:
1.      Pemuda yang Rabbani
Pemuda Rabbani adalah pemuda yang menghabiskan masa mudanya hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Ia curahkan segala kekuatan dan potensi yang ia miliki untuk membela al-Islam ini. Ia dinamis, optimis, penuh semangat, kreatif dalam mempelajari, mengamalkan dan mengajarkan Islam. Said bin Jabir berkata: Rabbani adalah ahli hikmah dan taqwa. Allah SWT berfirman:
Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi ia berkata: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu selalu mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79).
2.      Pemuda yang bisa menempatkan diri antara kepentingan dunia dan akhirat
Firman Allah: Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenik-matan) duniawi... (al-Qashash: 77).
Ada pemuda muslim yang menghabiskan waktunya hanya di masjid. Sementara aktivitasnya di luar ia tinggalkan. Sikap semacam ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Nabi sendiri tidak membenarkan sahabat melakukan hal yang demikian ketika beliau ketahui ada di antara sahabatnya yang bersikap semacam itu. Ada pula pemuda Muslim yang terbuai dan terpesona akan gemerlapnya dunia sehingga ia lupa akan kehidupannya di akhirat kelak. Ia lupa tugas dan peranannya sebagai pemuda muslim. Larut dalam mabuk-mabukan, perzinaan, tindak kriminal serta tindak amoral lainnya. Hal ini jelas akan menjadi penghambat laju kebangkitan ummat Islam. Sikap semacam inipun tidak dibenarkan Islam. Lalu bagaimana sikap pemuda Muslim? Pemuda Muslim harus berada di antara dua sikap di atas. Yaitu seimbang antara aktivitasnya untuk dunia dan akhirat. Sebab dua hal tersebut tak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemuda Muslim tau apa yang mesti ia kerjakan.
3.      Pemuda yang ber’izzah tinggi
Salah satu dalih yang biasa dikemukakan kaum muda terutana mereka yang menjadi promotor kemaksiatan adalah gengsi dan mengikuti perkembangan zaman. Tidak sedikit pemuda yang rela mengorbankan izzahnya hanya karena popularitas, gengsi dan modern. Pemuda Muslim sejati adalah pemuda yang jauh dari gambaran di atas dan selalu bangga dengan keislamannya. Mereka tidak pernah malu pergi ke masjid hanya karena takut dikatakan kolot. Mereka selalu setia dan menjaga “libasuttaqwa-nya” (pakaian taqwa). Karena mereka yakin dengan firman Allah: “Janganlah kamu takut dan gentar, karena sesungguhnya kamu itu tinggi (izzahnya) jika kamu beriman”.
4.      Pemuda yang pemberani dan berkepribadian kokoh
Pemuda Muslim adalah pemuda yang mempunyai keberanian dalam mengatakan al-Haq dan menumpas kebathilan. Sanggup berkata lantang di depan penguasa yang zhalim. Kepribadiannya kokoh dan tegar tak mudah diombang-ambingkan zaman. Selalu siap untuk mengorbankan ilmunya, hartanya, tenaganya bahkan jiwanya untuk kepentingan Islam.
Sedikitnya dengan empat sifat itulah yang harus dimiliki oleh setiap pemuda Muslim dalam ranga membangkitkan kembali serta mengaktualisasikan Peradaban Islam di dunia era modern ini.
Seorang pemuda Islam yang telah memahami tugasnya dalam mengemban risalah Islam dan menyadari kemuliaan jalan da’wah yang ditempuhnya untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaannya, ia sudah selayaknya untuk senantiasa mengikatkan dirinya, pemikiran dan perbuatannya untuk kepentingan da’wah. Seluruh potensi yang dimilikinya sepantasnya tercurah bagi tegaknya risalah Islam di muka bumi ini.
Adalah merupakan kewajiban bagi umat Islam khususnya generasi mudanya untuk terus memperjuangkan al-Islam ini kapan dan dimana saja berada. Bahwa kebangkitan Peradaban Islam kembali tergantung ummat Islam itu sendiri. Sebab kita semua meyakini bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (meski Dia berkuasa untuk itu) sehingga kaum itu mengubah dirinya sendiri.
Akhirnya , sejauh mana pemuda Muslim memainkan peranannya di tengah-tengah kehausan spiritual di sisi lain dan kesadaran berislam di lain pihak. Sampai akhirnya 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kapasitas Kualitas dan Kuantitas Kader

Kekuatan dalam sebuah harakah atau pergerakan salah satunya ada pada kapasitas kualitas serta kuantitas kader dari harakah tersebut. Ketiga hal tersebut menjadi sesuatu yang urgenbagi berkembangnya sebuah harakah, terlebih dalam harakah dakwah. Kasus di lapangan hari ini, sering kali menempatkan target kuantitas sebagai target utama yang harus dipenuhi. Sebetulnya memang mengejar target kuantitas bukanlah hal yang keliru, akan tetapi mengejar target ini tidak harus kemudian menjadi orientasi utama dari sebuah harakah. Kenapa? karena jika sebuah harakah terlalu menempatkan target kuantitas sebagai tujuan utama dari sebuah harakah, maka kecenderungan untuk membekali dan meningkatkan kapasitas kualitas dari kader-kader yang ada di dalamnya cenderung lemah atau bahkan kurang sama sekali. Kuantitas yang banyak memang adalah indikator kekuatan, akan tetapi bisa jadi orientasi yang terlalu berlebihan terhadap kuantitas ini justru akan menyibukan fokustanzhim kepada "angka", sehingga celah-celah yang akan melemahkanharakah banyak bermunculan di sana-sini. 

Memang tawazun atau keseimbangan merupakan hal klasik yang sering kali sulit untuk terwujud. Sebuah harakahyang memiliki kapasitas kualitas kader yang matang dengan baik meskipun secara kuantitas bisa jadi sedikit akan jauh lebih kuat dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai bagian dari pembangunan peradaban. Daya imunitas kader dalam sebuah harakahyang dibangun dengan tingkat kematangan yang kuat, dengan sendirinya akan membuka celah peningkatan secara kuatitas. Hal ini terjadi sebagai dampak dari "matang" tak sekedar kuat secara tsaqafah, akan tetapi juga memiliki kepahaman dan kesadaran untuk kemudian berkerja secara amal jama'i dalam proses rekruitasi terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi hal penting yang juga ia perhitungkan dan ia kerjakan. Berbeda halnya denganharakah yang lebih berorientasi kepada kuantitas. Jumlah kader yang banyak tentu membutuhkan kemampuan manajerial yang juga harus hebat, tapi bukan berarti jumlah kader sebuah harakah yang kuantitasnya lebih sedikit mengabaikan fungsi manajerial ini, akan tetapi memang tingginya kuantitas kader dalam sebuah harakahtentu menuntut qiyadah atau pun para pengambil kebijakan di dalamnya untuk berstrategi lebih dalam. Strategi yang tak sekedar berbicara dalam tataran gerakan di lapangan, akan tetapi juga strategi hebat yang akan mematangkan kader-kader yang ada di dalamnya.

Jika melihat fenomena di lapangan hari ini, umumnya hampir setiapharakah berorientasi kepada pemenuhan target angka yang dicanangkan oleh harakahnya tanpa kemudian menyiapkan satu bentukgrand design yang baik untuk mem-follow up ketercapaian target angka itu. Hanya sedikit sekali harakah yang sudah cukup seimbang dalam penyinergisan antara kuantitas dan kualitas, selebihnya? ya, entahlah. Sebagai penonton dari luar lapangan, kondisi yang terlihat memang begitu adanya. Akibatnya dengan orientasi pemenuhan tuntutan angka yang sudah menjadi keputusan syuro dari internal harakah, menyebabkan kader-kader teknis di lapangan kurang dibekali dengan kemampuan dan kesadaran untuk berinisiatif. Terlebih ketika capaian-capaian dari harakahtersebut sudah disertai dengan "job desk" yang sering kali dilabeli dengan label "keputusan syuro itu tidak bisa diganggu gugat lagi".

Akibatkan kader-kader yang kerdil dalam bertindak dan berpikir bermunculan, yang mengakibatkan daya imunitas mereka dan kemampuan untuk berinisiatif melemah bahkan hilang sama sekali. Di sinilah nampak betul betapa sebuahharakah itu memerlukan manajerial yang dalam dan baik, manajerial yang tak hanya mengejar capaian atau target angka untuk menjaring calon kader-kader baru, dan tak hanya memproyeksikan grand design untuk mem-follow up kader-kader baru itu saja, akan tetapi juga harakah itu hendaknya memperhatikan juga bagaimana mempertahankan kuantitas kader-kader "lama" dengan tetap mempersiapkan sebuah"manhaj" yang betul-betul semakin mematangkan kapasitas kualitas kader yang ada dalam harakahnya. Kondisi ini memang pada akhirnya menempatkan harakah berdiri lebih dari dua kaki, karena memang seperti itulah fungsi harakah dalam ikhtiarnya untuk mengambil peranan strategis bagi pembentukan peradaban yang paripurna dan madani bagi banyak pihak.

Kader-kader lapangan yang dikungkung oleh keputusan syuroyang seolah-olah ditempatkan selalu mutlak adanya, akan membangun sebuah mentalitas figuritas dan ketergantungan yang tak jarang justru semakin membuat kader-kader itu melemah. Seolah-olah ide-ide kreatif yang bermunculan dalam alam sadarnya tak berarti apapun ketika instruksi sudah mengatasnamakansyuro. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan syuro maupun kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya, akan tetapi kekurangmampuan dari beberapa qiyadah atau para pengambil kebijakan tanzhim harakah dalam memformalkan atau membahasakan kebijakan itu kepada kader lapangan(grass root) justru pada akhirnya menjadi sebuah batu sandungan bagi pengembangan kemampuan berinisiatif dan kreatifitas kader. Hal lainnya adalah ketika qiyadah kurang memberikan kesempatan bagi kader untuk menyampaikan terlebih merealisasikan ide-ide yang hadir dalam pikirannya, kondisi ini semakin menempatkan kader pada keadaantsiqoh yang sebetulnya bisa jadi tidak memberikan mereka celah untuk memahami dan belajar akan diri danharakah tempatnya bernaung. Akibatnya pola yang demikian menimbulkan banyak efek yang sering kali tidak terdeteksi oleh tanzhimdalam sebuah harakah. Dua diantaranya adalah, pola ini mengerdilkan kader, di sisi yang lain pola ini pun akan mendorong kader-kader lainnya untuk kemudian menelaahi kembali harakah dimana ia berada, dan biasanya kader yang ada di dalam kondisi ini kemudian seolah-olah ditempatkan sebagai "pemberontak" apakah dari pemikirannya terlebih dari tindak-tanduknya.

Keadaan seperti itu jelas membutuhkan penanganan yang tak bisa dilakoni sambil lalu. Itu adalah keadaan yang sering kali dialami oleh kader "lama" dan keadaan seperti itu memungkinkan penurunan kuantitas kader dalam harakah, bahkan bisa jadi kondisi yang tidak diperbaiki dengan serius ini akan berlaku sama persis terhadap kader baru yang mati-matian dijaring oleh harakah itu sendiri. Di sinilah satu dari sekian banyak titik evaluasi bagi sebuah tanzhim harakah. Manajerial kapasitas kualitas lagi-lagi menjadi perhatian penting, dan proses pencapaian konsistensi kualitas kuantitas ini tak cukup dengan menggantungkan pada sisi-sisi tarbawisaja, akan tetapi juga harus dipertajam dengan pendekatan pemahaman di lapangan, dalam hal ini dalam beramanah dakwah pada wajihah-wajihah maupun lini-lini dakwah lainnya. Pemposisian peranan qiyadah wal jundiyah menjadi aspek penting yang membutuhkan kadar ekstra. Pola komunikasi dan pembahasan terhadap berbagai kebijakan tanzhim bagi mereka, kader-kader di lapangan menjadi perkara penting, pun dalam kadar "demokratisasi" tanzhim, dimana qiyadah idealnya lebih banyak memberikan ruang untuk mendengarkan berbagai ide, kritikan dan lain sebagainya yang dikemukan oleh jundiyahnya di lapangan.

Permasalahan tanzhim harakah pada dasarnya adalah masalah klasik. Seputar masalah pemenuhan kuantitas, peningkatan kapasitas kualitas kader hingga masalah kebijakan syuro dan qiyadah wal jundiyah menjadi PR-PR masa lalu yang fenomenanya selalu terulang dalam setiap masa kepemimpinan. Jika PR-PR masa lalu ini selalu berulang fenomenanya dan lagi-lagi diselesaikan dengan pola penyelesaian yang sama, maka bersiap-siap saja hal itu akan menjadi "bom waktu" bagi stabilitas sebuah harakah dakwah, bahkan "bom waktu" itu akan siap meledak kapan saja, tak hanya menurunkan kapasitas kualitas kader atau pun menurunkan kuantitas kader lama dan kader baru, akan tetapi lebih dari itu, "bom waktu" itu akan memupus bersih cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang paripurna dan madani di masa sekarang terlebih di masa depan.

Wallahualambishawab...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS